Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buku Egois untuk Pendidikan Politik

Kompas.com - 21/03/2011, 20:20 WIB

KOMPAS.com — Egois. Rasanya, memang tidak terelakkan untuk mengatakan begitu. Buku Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan ini memang tidak menggunakan bahasa akademik untuk usia SD dan SMP, tetapi tetap "dipaksakan" untuk diterima siswa.

Sejatinya, sebuah bacaan memang gampang bikin kening berkerut kalau bahasanya saja tidak dimengerti. Membacanya sejak di halaman kata pengantar, buku ini jelas-jelas menggunakan bahasa tutur media massa, yang ditujukan untuk orang dewasa. Itu pun setidaknya untuk mereka yang sudah mengerti politik karena tak ada satu paragraf pun yang menampilkan bahasa yang menyentuh kalangan usia peserta didik SD/SMP.

"Sosok SBY adalah representasi bangsa. Kepribadian dan karakternya mendukung keberhasilannya. Dengan pendekatan yang dia namakan dengan soft power, dia berhasil menyelesaikan berbagai konflik di dalam negeri yang nyaris merobek keutuhan NKRI". (hlm vi)

Bisa dibuktikan, pemakaian kata dan kalimat dari semua bab di buku ini sangat "tinggi", sangat tidak membumi untuk siswa. Banyak pemakaian istilah dan kalimat berbahasa Inggris yang tidak dicetak miring dan diberi penjelasan. Penggunaan istilah "soft power", misalnya, tercatat sampai lebih dari tiga kali digunakan tanpa ada penjelasan arti dan maksudnya.

"Keegoisan" itu juga ditemukan pada kata-kata lainnya, yaitu "review", "nuzulnya", "economic war", "Command and General Staff College", "status quo", "highlight", "shock therapy", "power concept", dan masih banyak lagi.

Beberapa kesalahan penulisan kata dengan huruf besar pun banyak terjadi dan bisa menjerumuskan siswa dari kesalahan berbahasa yang baik dan benar. Mirisnya, kesalahan itu sudah terjadi sejak di bagian "Kata Pengantar" seperti penulisan kata "Tinggi" (paragraf pertama) dan "Komputer" (paragraf terakhir).

Sebagai buku pengayaan yang disimpan di perpustakaan, buku ini pun terlalu berat dijadikan alternatif bacaan siswa SD-SMP, bahkan siswa SMA sekalipun. Penggunaan kata, rangkaian kalimat, gaya bahasa, dan bermacam idiom di dalamnya menunjukkan bahwa pendekatan buku ini hanya cocok sebagai buku pengayaan bidang politik untuk kalangan mahasiswa.

"Ofensif SBY-JK di gelanggang diplomasi internasional dengan mengambil momentum peristiwa tsunami ini dan kepeduliannya menolong masyarakat Aceh menyebabkan citra GAM melemah. Dalam suasana seperti itu, berpulang kepada GAM untuk memelihara citranya, apakah mereka merupakan perwujudan aspriasi demokratis atau bukan." (hlm 43)

Kening berkerut

Terdiri dari 224 halaman, buku ini memaparkan tentang karier Presiden SBY di panggung politik, yaitu sejak Pemilu Presiden 2004 hingga diterbitkannya buku ini tahun 2009. Jika di awal sudah memuja-muja sosoknya, bisa ditebak, isi buku ini memang tidak memuat kekalahan atau kegagalan kinerja SBY sebagai presiden. Sebaliknya, semua yang ditulis, mulai bagian satu sampai lima, berisi keberhasilan seorang SBY dalam menegakkan keadilan sekaligus memberantas kejahatan.

Bab I berjudul "Demokrasi Kita" merupakan pemaparan tentang bagaimana proses demokratisasi berlangsung di Indonesia. Bab II buku ini memperlihatkan bagaimana kesan penuh dinamikanya proses terpilihnya SBY sebagai presiden RI keenam. Adapun Bab III sampai VIII menyajikan apa yang disebut dengan keberhasilan SBY menyelesaikan konflik-konflik di Aceh, Maluku, Poso, dan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), terorisme, dan premanisme.

Sementara itu, pada Bab IX, penulis menyebutnya sebagai bab pembahasan yang diberi judul "Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan", yang kemudian dilanjutkan dengan Bab X tentang "Menatap Masa Depan".

Boleh jadi, karena dari awal memang sudah dijelaskan di Kata Pengantar, bahwa penulisnya, Hasan Syukur, ingin menjadikan buku ini sebagai buku pendidikan politik, maka semua "keegoisan" itu konsisten dilakukan di buku ini. Namun, untuk dibaca oleh anak usia SD/SMP di perpustakaan, pantaskah?

Bahkan, kening anak seusia SMA pun berkerut saat membacanya. Karena sebelum membedah buku ini, agak sulit membayangkan seorang siswa SD kelas VI atau kelas III SMP bisa mencerna atau memahami dengan baik isi buku ini.

Hasilnya terbukti. Ketika disodorkan kepada dua siswa SD dan satu siswa SMP, kening mereka langsung berkerut dan memberikan pernyataan yang lebih kurang sama.

"Enggak ngerti, Om!"

Tak kita mungkiri, peran bahasa memang sangat penting untuk dicermati sebagai hal pertama pada sebuah bacaan, terlebih jika buku bacaan itu dikatakan sebagai pengayaan untuk siswa SD-SMP. Tentunya, hal itu sekaligus untuk memperkuat bukti bahwa pernyataan ketiga siswa tadi tidak main-main.

Lebih penting lagi, peran bahasa adalah awal bagi seseorang untuk menyampaikan gagasan atau maksud dan tujuan agar mudah tercapai dengan baik lewat sebuah tulisan. Jangankan pelajar SD-SMP, pemakaian bahasa yang cenderung "egois" di buku ini pun bakal susah dimengerti orang dewasa yang memang tidak tertarik dunia politik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com