Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehadiran Aparat Ciptakan Teror Psikis

Kompas.com - 18/04/2011, 14:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait menilai kehadiran aparat keamanan untuk mengawasi Ujian Nasional (UN) merupakan bentuk teror psikis terhadap peserta UN dan guru.

"Pelaksanaan UN saja sudah menciptakan tekanan psikis terhadap peserta didik dan guru-guru. Apalagi dengan kehadiran aparat keamanan yang turut mengawasi," kata Arist saat ditemui di Kantor Komnas Anak, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Senin (18/4/2011).

Meski bertujuan positif, pencegahan kebocoran soal dan pelaksanaan UN yang jujur, Arist menilai, kehadiran aparat di sekolah saat UN justru menciptakan suasana mencekam dan menakutkan layaknya pencegahan kerusuhan.

"Siswa-siswa yang sudah tertekan sebelumnya, masih dihadapkan dengan suasana mencekam saat ujian dilaksanakan. Ini merupakan teror psikis yang dilakukan negara, suatu teror yang bersifat nasional," tegas Arist.

UN, menurut Arist, telah lama menjadi sesuatu yang mengganggu kondisi kejiwaan siswa sekolah. Kecemasan berlebihan yang dialami calon peserta bisa berujung pada upaya negatif yang mengancam diri sendiri.

"Tahun lalu tercatat ada enam siswa yang melakukan percobaan bunuh diri. Di antara mereka ada seorang anak perempuan yang tercatat sebagai siswa berprestasi, yang selalu dapat ranking di sekolahnya," ujar Arist.

Tidak hanya itu, dampak lanjutan bagi mereka yang tidak lulus pun bisa terwujud dalam aksi destruktif, seperti merusak fasilitas sekolah dan ancaman terhadap guru-guru.

Guru-guru juga mengalami tekanan karena harus memenuhi tuntutan tertentu yang didasarkan pada hasil UN. "Guru sekolah swasta, misalnya, mengalami tekanan psikis karena bila tingkat kelulusan UN sekolahnya di bawah 40 persen, sekolahnya terancam ditutup," sebut Arist menyebutkan contohnya.

Dia menjelaskan, penilaian kelulusan siswa memang didasarkan pada hasil UN dan nilai ujian akhir tingkat sekolah serta nilai laporan pendidikan siswa sebelumnya.

"Tapi hasil UN tetap lebih menentukan dengan persentase sebesar 60 persen. Nilai dari sekolah cuma 40 persen. Tekanan muncul pada guru-guru yang sebelumnya tergolong kikir nilai dengan memberikan nilai rapor yang tergolong standar," tambah Arist.

Tujuan guru, lanjut Arist, sebenarnya baik, yaitu memacu siswa agar lebih meningkatkan daya belajar. Namun, saat harus berhadapan dengan sistem UN saat ini mereka akhirnya tertekan secara psikis karena nilai yang diberikan bisa menyebabkan siswa tidak lulus ujian.

Dalam upaya membantu sisiwa yang mengalami tekanan kejiwaan karena UN, Komnas Anak bekerja sama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) membentuk posko pengaduan di 33 kota provinsi di seluruh Indonesia. Posko tersebut, jelas Arist, selain menerima aduan, juga akan memberikan bantuan terapi psikis kepada peserta UN yang bermasalah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau