Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara Anak Papua

Kompas.com - 21/04/2011, 05:02 WIB

”Orang-orang tua, kalau dong hadir, biar dong jangan jual tanah lagi,” kata Monika Fatagur, setelah pementasan drama ”Jeritan Anak Papua”, Sabtu (16/4) malam, di sebuah ruang kelas di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Jumlah penonton bisa dihitung dengan jari. Orang tua juga tidak terlihat, padahal banyak hal yang ingin disuarakan anak-anak ini.

Monika-lah yang membuat judul ”Jeritan Anak Papua”. Ia bercerita, salah satu segmen drama itu adalah refleksi dari kisah hidupnya. Monika, siswa kelas II SMA itu, harus menumpang di tanah yang tadinya adalah hak ulayat sukunya. Tanah tersebut dijual beberapa tahun lalu oleh Ondoafi, kepala adat. Sewaktu-waktu, kalau si empunya tanah itu datang, Monika dan keluarganya harus menyingkir entah ke mana.

Jangan tanya dengan harga berapa tanah itu dijual Ondoafi. Bulan Maret 2011 lalu, misalnya, 18.337 hektar tanah hak ulayat di Keerom dijual ke perusahaan kelapa sawit dengan harga Rp 384 per meter persegi. ”Itu artinya 3 meter persegi hanya kena harga sama dengan harga satu pisang goreng,” kata Pater Yohannes Jonga Pr.

Monika adalah salah seorang dari sekitar 30 anak Asrama Putra-Putri Don Bosco Distrik Arso yang menyumbangkan kisah nyatanya untuk ”Jeritan Anak Papua”. Drama ini selama enam minggu disusun dan dilatih oleh anak-anak asrama yang berasal dari berbagai distrik di Papua. Hasilnya, sebuah refleksi sosial yang jujur dan polos walau kadang mengejutkan.

Masalah hak ulayat atas tanah, misalnya, menjadi contoh bagaimana kegagapan masyarakat Papua yang berada pada sistem ekonomi meramu harus berhadapan dengan kapitalisme global. Para anak-anak SMP dan SMA dengan tepat menagih, kalau tanah dan hutan sudah habis dijual ke orang luar, bagaimana dengan masa depan mereka? ”Dulu, kitong pe hutan, sekarang kayu-kayu diangkat, burung hilang, babi musnah. Bapa Ondo tidak ingat masa depan kita,” begitu ungkap mereka.

Apalagi kalau uang hasil penjualan tanah tersebut digunakan secara konsumtif, yang dalam drama ini ditunjukkan dengan telepon seluler dan motor. Drama ini juga meramalkan konflik pertanahan yang rentan timbul pada kemudian hari. Anak-anak muda mendatangi investor dan menuntut agar tanah itu dikembalikan kepada masyarakat adat. Hal ini tentu tidak mudah karena hukum adat harus berhadapan dengan hukum positif yang dikawal oleh aparat yang bersenjata.

Masalah tanah hanya menjadi satu dari empat tema kegelisahan para remaja ini. Mereka juga menggambarkan tergerusnya nilai-nilai budaya. Anak tidak lagi menaruh hormat kepada orangtuanya. Pergaulan bebas di mana-mana sehingga banyak remaja putus sekolah karena hamil.

Mereka yang ingin sekolah pun tak hanya harus menempuh jarak rumah dan sekolah yang jauh, tetapi juga pada guru yang tidak pernah datang dan orangtua yang tidak mendukung. Begitu mereka menjejakkan kaki ke luar sekolah karena tidak ada guru, orangtua langsung menyuruh berkebun, sedangkan teman-teman menyodorkan berbotol-botol minuman keras.

Adegan tentang ketiadaan guru ini disampaikan dengan satir. Seorang ibu guru pengganti kewalahan saat menguji kemampuan murid-murid SMP yang baru ditemuinya. ”Berapa 5 x 10?” kata ibu guru itu. Tiga murid menjawab: sepuluh, lima, dan lima belas. Tentu saja ibu guru ngomel panjang-pendek mendengar jawaban mereka. Harapannya tinggal kepada murid yang keempat. Dari tadi anak itu diam saja. Setelah didesak ia baru menjawab, ”Lupa, ibu guru, saya sudah satu bulan ini tidak belajar.”

Cypri Paju Dale, mahasiswa asal Flores yang mendampingi siswa-siswa itu, bercerita, banyak hal mengejutkan dirinya. Dalam skenario awal cerita menunggu guru itu, si anak keempat mengatakan sudah tujuh bulan tidak pernah belajar karena selama itu juga tidak ada guru. ”Saya tantang mereka. Masa sih... tapi ternyata memang itu kisah nyata,” cerita Cypri.

Menurut Pater Jon, drama ini awalnya digagas agar siswa-siswi itu percaya diri dan berani tampil di depan orang lain. Mereka pun tampil. Mereka juga membuat pernyataan tegas di akhir segmen tentang guru ini. ”Kami anak-anak Keerom tidak bodoh. Kami mampu memimpin. Kami mampu asal kami bisa belajar,” kata mereka bersama-sama. (Edna C Pattisina)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com