Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahasiswa Rapatkan Barisan

Kompas.com - 30/04/2011, 02:43 WIB

Edna C Pattisina

Gerakan mahasiswa Papua tertatih-tatih dengan berbagai agenda, orientasi sebagai gerakan politik, perpecahan, provokasi, dan trauma. Tidak sedikit perjuangan mereka, dari membagi waktu hingga kehilangan nyawa.

Akan tetapi, penyatuan keping-keping ini mulai menampakkan hasil setelah Tragedi Berdarah Abepura 16 Maret 2006 yang membuyarkan semuanya.

Usai pemalangan di Universitas Cenderawasih, empat aparat keamanan meninggal dunia karena bentrok dengan masyarakat. Saat itu ada sekitar 10.000 demonstran yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat yang terorganisasi dalam Front Pembebasan Masyarakat Papua Barat (FPMPB). Massa menggunakan Kampus Universitas Cenderawasih sebagai basis pertahanan. Tuntutan yang diteriakkan dalam orasi adalah Papua Merdeka.

Masalah bentrok tersebut hingga kini masih menjadi misteri. Polisi maupun militer melakukan penyisiran di dalam kampus. Berbagai berita simpang-siur tentang mahasiswa yang hilang atau dicari. Asrama-asrama mahasiswa didatangi. Kampus jadi kosong. Mahasiswa pulang ke daerah masing-masing. ”Selama bertahun-tahun setelah itu tidak ada yang berani berorganisasi,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Christian Peday.

Markus Haluk dari Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) menyayangkan insiden itu yang menurut dia membubarkan sebuah agenda besar yang tengah disusun pihaknya. Saat itu, mereka tengah menggarap isu penutupan Freeport. Semua telah disiapkan, termasuk kesaksian korban, ketika tiba-tiba ada kelompok lain yang melancarkan aksi pemalangan kampus dan mencetuskan kekerasan. ”Padahal, seharusnya 22 Maret DPRP akan sidang paripurna soal penutupan Freeport, blunder semua,” katanya.

Aktivis lain, Selpius Bobii yang juga Ketua Umum Front Pepera bercerita, para mahasiswa tengah bernegosiasi dengan polisi untuk membuka palang. Saat itu ada anggota DPR Papua yang menjadi penengah yaitu Komaruddin Watubun. Namun, entah kenapa saat palang dibuka, polisi maju. Dalam proses itu, tiba-tiba ada pihak yang menembak dan timbullah kekacauan. Selpius Bobii sendiri tiba-tiba merasa dirinya diangkat dan dibawa ke kantor polisi. Belakangan ia disidang dan dikenai pasal penghasutan. ”Kami dikenai masalah kriminal, padahal perjuangan kami itu politik. Setelah itu, semua diam,” kata Bobii yang lewat tekanan dari LSM dan keputusan Komisi I DPR diputuskan menjadi tahanan politik.

Ada banyak versi akan peristiwa itu. Akan tetapi, peristiwa ini menjadi salah satu tonggak perselisihan kelompok mahasiswa, yakni perbedaan agenda. Bahkan, tidak tertutup adanya provokasi dan infiltrasi yang ujung-ujungnya meniadakan gerakan mahasiswa yang sering membuat gerah pemerintah.

Christian Peday bercerita, kini yang dilakukan BEM adalah penataan kembali serta kaderisasi. Ia mengakui, kerap masih ada intervensi dari pihak luar. Padahal, membangun gerakan mahasiswa juga tidak mudah. Selain kuliah, mereka juga berada di antara dua kubu pihak yang kiri yang menganggap mahasiswa terlalu pengecut dan pihak kanan yang nasionalis. ”Belum lagi soal kuliah, lulus, dan tekanan seperti intel yang suka datang sebagai tukang bakso di asrama,” ceritanya.

Penataan organisasi mulai dari kegiatan akademis hingga mendatangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat temu BEM senusantara akhir tahun 2010. Agenda-agenda politik lokal juga menjadi tema yang diangkat oleh BEM Uncen. Pada 4 Mei mendatang, mereka akan mengadakan seminar tentang kandidat-kandidat gubernur yang akann datang. Tanggal 2 Mei juga mereka akan ikut serta dalam agenda demonstrasi bersama tentang hak masyarakat adat, penembakan orang asli Papua di Freeport, dan kegagalan otonomi khusus memperjuangkan hak-hak dasar warga Papua.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com