Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Megawati: Kita Harus Tegas soal Ideologi

Kompas.com - 01/05/2011, 05:16 WIB

Jakarta, Kompas - Sikap yang tak konsisten dalam mengimplementasikan ideologi Pancasila membuat ruang terbuka lebar bagi kehadiran ideologi lain. Oleh karena itu, jika tidak ingin ideologi lain berkembang di Tanah Air, tidak ada pilihan bagi warga Indonesia selain secara konsisten mengimplementasikan Pancasila.

Demikian disampaikan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Sabtu (30/4) di Jakarta. Ia mengungkapkan hal tersebut seusai mengikuti santap siang bersama Wakil Presiden Boediono dan Perdana Menteri China Wen Jiabao.

”Kita seharusnya tegas dalam hal ideologi. Kita tahu ideologi kita adalah Pancasila. Nah, akibat tidak diimplementasikan secara konsisten, akan ada ruang bagi ideologi yang berbeda untuk muncul,” ujar Megawati, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, saat ditanya mengenai radikalisme dan Negara Islam Indonesia (NII).

Megawati lantas meminta pemerintah bersikap tegas dalam mempertahankan konstitusi, UUD 1945. ”Kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, sangat jelas bahwa di situlah Pancasila dijabarkan,” tuturnya.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pembuatan aturan yang lebih ketat bukan solusi mengatasi terorisme dan radikalisasi kelompok keagamaan. Ia menegaskan kembali bahwa selama masih ada kemiskinan dan ketidakadilan, serta belum meratanya kesejahteraan rakyat, selama itu pula benih radikalisme dan teror masih mungkin terus terjadi di Indonesia.

”Kita berada pada situasi saat banyak kekurangan harus diperbaiki. Ada kemiskinan, ada ketidakadilan, ada ketidakseimbangan. Di situlah pemikiran-pemikiran yang keliru bisa cepat tumbuh,” kata Jusuf Kalla di sela acara peluncuran buku Satu Abad KH A Wahid Hasjim di Jakarta, Sabtu.

Menurut Kalla, pemikiran radikal yang ingin mengubah dasar kesatuan negara Indonesia bisa tumbuh subur ketika sampai hari ini rakyat dihadapkan pada fakta bahwa masih terus terjadi ketimpangan dan belum diraihnya kemakmuran. ”Kondisi negeri ini juga harus diperbaiki. Kemakmuran harus diperbaiki, ketimpangan diperbaiki karena di situlah bisa menimbulkan pemikiran yang merasa bahwa tindakan keras atau negara Islam menjadi solusi. Coba di Malaysia, tidak mudah tumbuh begini karena orang di sana merasakan kemakmuran,” ujar Kalla.

Secara terpisah, Menteri Agama Suryadharma Ali membantah bahwa Kementerian Agama terkesan melindungi kelompok dan organisasi massa Islam yang intoleran dan sering mempromosikan kekerasan dalam aksinya. Menurut Suryadharma, Kementerian Agama justru mempersilakan instansi berwenang menindak kelompok keagamaan yang mempromosikan kekerasan.

”Coba buktikan Kementerian Agama melindungi kelompok yang melakukan kekerasan dan mempromosikan kekerasan. Kementerian Agama tidak melindungi. Sesuai dengan kewenangannya, kalau membubarkan suatu organisasi, ada instansi yang berwenang. Menindak kekerasan ada instansi yang berwenang. Kementerian Agama tidak dalam posisi membubarkan atau menangkap orang,” katanya.

Namun, pemerintah dinilai gagal dalam memastikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Kegagalan itulah yang ditengarai membuat radikalisme tumbuh subur di Indonesia. ”Ini menunjukkan kegagalan pemerintah,” kata Zuhairi Misrawi dari Moderat Muslim Society dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu.

Zuhairi mengatakan, ekstremisme dan radikalisme tumbuh subur justru pada masa pemerintahan saat ini. Kenyataan itu membuktikan bahwa pemerintahan tak serius mendesiminasikan empat pilar berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus bekerja keras mencegah radikalisme terus berkembang.

Pengamat intelijen Wawan Purwanto menyebutkan, jumlah anggota NII sejak 1999 hingga sekarang sudah mencapai 151 juta orang. Namun, perekrutan secara besar-besaran dilakukan pada 2009 hingga 2011.

Peneliti Sejarah Darul Islam/NII, Solahudin, sama sekali tidak heran dengan jumlah anggota NII saat ini. Perekrutan besar-besaran sejak tahun 2009 itu bermotif ekonomi karena semakin banyak anggota yang direkrut semakin banyak pula uang infak yang terkumpul.

Pengamat intelijen Andi Widjajanto mengatakan, pemerintah seharusnya membuat klarifikasi apakah NII yang muncul sekarang adalah NII tradisional dengan rencana aksi membagi Indonesia menjadi tujuh komandemen wilayah atau apakah bentuk metamorfosis baru. Walau kecil kemungkinan NII saat ini membentuk Tentara Islam Indonesia, menurut dia, ada metode kerja dengan motif penipuan ekonomi.

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengatakan, maraknya aksi teror bom seharusnya membuat pemerintah merevisi UU Antiteror menjadi lebih tegas. Menurut Said, kewenangan penangkapan terhadap kelompok yang dicurigai melakukan aksi teror bisa dilakukan aparat keamanan. ”Tetapi dengan syarat tidak boleh melanggar HAM,” katanya

Namun, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai, teror bom dan kekerasan itu bukan menjadi justifikasi lahirnya RUU Intelijen.

Menurut Kalla, upaya memperketat perundangan melalui UU Antiterorisme dan RUU Intelijen tidak akan menjadi solusi jika persoalan kemiskinan dan ketidakadilan belum teratasi. ”Kita tidak mengadili pemikiran, yang diadili tindakan kekerasan,” katanya. (ATO/BIL/NTA/EDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com