Medan, Kompas
Akibatnya, siswa berpandangan, pendidikan karakter dan nilai-nilai nasionalisme yang ditanamkan di sekolah hanya sekadar wacana. Untuk kehidupan nyata, mereka lebih meyakini paham baru yang justru bertolak belakang dengan nilai nasionalisme, patriotisme, dan pluralisme.
”Selama ini ada kesan siswa merasa dibohongi. Mereka hanya mendengarkan materi tentang karakter baik, kejujuran, dan patriotisme, tetapi gagal menemukan sosok teladan dalam kehidupan nyata,” kata Erma Satifa, guru SMA Negeri 1 Medan yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan Binjai, Sumatera Utara, Senin (2/5).
Hal senada dikatakan guru SMAN 4 Medan, Lodden Silitonga. Menurut dia, selama ini para siswa gagal meresapi nilai-nilai yang diberikan guru menyangkut kejujuran, pengorbanan kepada sesama, dan toleransi karena berbeda jauh dengan fakta yang ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari.
”Guru sering disalahkan karena tidak memberikan pendidikan karakter kepada siswa. Mereka lupa, pendidikan yang baik bukanlah di depan kelas, melainkan keteladanan. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari,” kata Silitonga.
Erma menambahkan, siswa juga tak memiliki sosok teladan. Hal ini menyebabkan pendirian mereka rapuh sehingga mudah terpengaruh paham lain.
”Pemerintah perlu serius menangani persoalan pendidikan karakter. Namun, yang lebih penting adalah menghadirkan sosok panutan,” kata Silitonga.
Maimun, guru Pendidikan Kewarganegaraan SMAN 1 Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan, gerakan radikalisme masuk memengaruhi siswa dengan menjual kebobrokan moral masyarakat dan para pemimpin bangsa. ”Generasi muda yang sedang dalam masa pencarian identitas, tetapi tak punya akar kebangsaan yang kuat akan sangat mudah terpengaruh dalam gerakan seperti ini,” tuturnya.
Menurut Maimun, berubahnya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan menyebabkan muatan kebangsaan dan karakter bangsa menjadi bagian sangat kecil dalam kurikulum.
Sebagian besar materi pelajaran merupakan pengetahuan yang bersifat teoretis dan umum, salah satunya budaya politik. ”Bandingkan dengan kurikulum sebelum tahun 2004, ada cinta
Kepala SMK Negeri 3 Palembang Djunaidi mengatakan, guru mengalami kesulitan menjalankan pendidikan karakter dan budaya bangsa secara menyeluruh karena besarnya pengaruh budaya negatif dari luar sekolah.
Di Jakarta, dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, tindakan anarkistis adalah buah dari pemikiran radikal yang tidak bisa dilawan dengan tindakan represif. ”Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Di sini letak penting pendidikan karakter,” ujarnya.(MHF/IRE/LUK/arn/eln)