Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Praktik Bias Gender di Pesantren

Kompas.com - 21/05/2011, 22:37 WIB

Judul  : Konstruksi Sosial Gender di Pesantren, Studi Kuasa Kiai atas Wacana Perempuan Penulis  : Dr. Ema Marhumah Penerbit  : LKiS Yogyakarta Tahun   : I Januari 2011 Tebal   : xviii + 206 halaman Harga   : Rp60.000

Peresensi : Arif Syam Ketua BEM-F Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sudahkah praktik sosialisasi gender yang bias (timpang) sirna dari bumi Indonesia? Agaknya, meski gerakan feminisme menuju dunia egaliter bagi sesama manusia, laki-laki dan perempuan, sudah diperjuangkan sejak lama, pola hubungan gender yang bias masih kerap ditemukan di Indonesia. Selain mendapat legitimasi dari adat dan budaya, bias gender juga terkesan mendapatkan legitimasi dari Islam (pesantren). Tidak ayal, paradigma gender yang bias pun masih berurat-berakar dalam masyarakat kita.

Diakui atau tidak pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam tertua dan sangat berpengaruh di Indonesia. Orang-orang pesantren, seperti kiyai dan nyai, kerap dijadikan panutan oleh para santri dan masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, seyogyanya pesantren dapat menjadi garda terdepan dalam mengawal dakwah Islam yang sensitif gender.

Sayang, pada kenyataannya, semua itu masih jauh panggang dari api. Pesantren yang diharapkan mampu melahirkan generasi yang sadar gender, justru melembagakan pola hubungan gender yang bias. Kita bisa lihat misalnya bagaimana pengkalsifikasian yang berbeda antara santri laki-laki dan perempuan di pesantren. Peraturan pesantren mensyaratkan santri perempuan yang akan keluar pesantren harus sudah kembali ke pesantren sebelum datangnya waktu maghrib, sementara untuk laki-laki tidak berlaku ketentuan tersebut. Perbedaan ini pada akhirnya akan mendukung ketidaksetaraan akses dan kontrol terhadap informasi dan ekspresi kejiwaan pada masing-masing santri laki-laki dan perempuan.(hal. 75)

Praktik demikian diperkokoh dengan kurikulum pendidikan di pesantren yang masih mempertahankan kitab-kitab klasik sebagai rujukan keberagamaan mereka. Bagi komunitas pesantren, ajaran dalam kitab-kitab klasik tersebut masih terlalu suci untuk dikontekstualisasikan. Padahal, harus disadari bahwa ajaran dalam kitab-kitab klasik tersebut cenderung melanggengkan nilai-nilai yang menempatkan laki-laki sebagai superior dan kurang berpihak pada perempuan. Bahkan tidak jarang kitab-kitab klasik menempatkan perempuan sekedar sebagai pemenuh kebutuhan biologis laki-laki. Bukankah sejatinya Islam adalah agama yang ramah perempuan?

Karya Ema Marhumah yang berjudul Konstruksi Sosial Gender di Pesantren, Studi Kuasa Kiai atas Wacana Perempuan ini menganalisis dan mengevaluasi paradigma gender yang bias di pesantren. Berdasarkan penelitian yang mendalam terhadap dua pesantren di Yogyakarta, yaitu pesantren Al-Munawir (salaf) dan Al-Maksum (modern), Direktur Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga ini menangkap bahwa para kiai dan nyai memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk diskursus gender dalam Islam (pesantren). Ikatan emosional dan supranatural (barakah dan karamah) antara santri dan kiai telah mensyaratkan ketundukan dan sikap hormat para santri secara mutlak terhadap kiai. Sehingga, para kiai perlu untuk dilibatkan dalam membangun wacana kesetaraan gender di pesantren.

Melalui buku setebal 206 halaman ini, Ema menuturkan bahwa maskulinisasi epistemologi pengetahuan agama di pesantren juga dipengaruhi oleh sistem transmisi keilmuan yang kurang dialektis. Proses pembelajaran di pesantren masih menggunakan model ceramah, penyampaian yang berulang, dan dokmatisasi. Kurikulum pendidikannya pun masih sangat eksklusif dan cenderung tidak ada perubahan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang strong model tersebut harus segera direkonstruksi agar tercipta kultur yang lebih terbuka dan dialogis.

Meski, buku ini ditulis berdasarkan penelitian yang terbatas di dua pesantren, tetapi buku ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan diskursus gender di Indonesia. Buku ini terkesan ingin mengatakan bahwa merangkul kiai adalah sebuah keharusan dalam sosialisasi gender di Indonesia. Mengingat di lingkungan agamis, perkataan kiai adalah setara dengan sabdo pandito ratu. Bukankah yang selama ini menjadi kendala besar pengarus-utamaan gender di Indonesia adalah kuatnya pemahaman agama dan budaya yang telah terpatri dalam masyarakat?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com