Jakarta, Kompas -
”Melalui latihan teater, orang diajarkan untuk mengenal karakter orang lain dari tokoh-tokoh yang akan ditampilkan,” kata Jose Rizal Manua, seniman teater sekaligus pendiri teater anak-anak bernama Teater Tanah Air, Sabtu (4/6) di Jakarta. Ia prihatin terhadap nasib seni teater yang tidak mampu berkembang di Indonesia.
Menurut Jose, pemahaman terhadap orang lain ini terbentuk karena dalam teater seseorang diajarkan untuk mengenal tidak hanya fisiologi (fisik) manusia saja, tetapi juga latar belakang sosial dan psikologi seseorang.
Ia menambahkan, karakter seseorang itu terbentuk dari latar belakangnya, seperti pendidikan dalam keluarga, kesejarahannya, budayanya, dan lain-lain. ”Kalau seseorang bisa memahami kesejarahan dan budayanya, ia akan bisa menghargai perbedaan,” tutur Jose.
Hal senada diungkapkan Suryadi Sanubari, seniman teater yang mengajar teater anak-anak di sanggarnya, Teater Kafe, Jakarta. Menurut Suryadi, anak-anak lebih berani menyampaikan pendapat dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi setelah berlatih teater.
”Anak-anak juga bisa memetik pelajaran dari naskah-naskah yang dimainkan, lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Suryadi.
Ia mencontohkan, dalam lakon Rantu Anak Pemberani karya Syafril Teha Noer, anak-anak belajar untuk meredam kemarahan melihat ulah anak yang nakal. Meski kelompok teaternya sulit berpentas karena kekurangan modal, Suryadi tetap bersemangat mengajar teater. Halaman Taman Ismail Marzuki pun menjadi tempat mereka berpentas bila tidak ada tempat yang bisa disewa murah.
Secara terpisah Rektor Institut Kesenian Jakarta Wagiyono mengatakan, perlu terobosan baru untuk menggairahkan kembali seni teater di Indonesia. Salah satunya dengan menjadikan seni teater sebagai bagian dari pendidikan di sekolah-sekolah dasar.
”Di sejumlah negara, anak-anak kecil sudah belajar teater. Belajar teater bukan semata untuk pertunjukan, tetapi lebih untuk membangun karakter anak,” tuturnya.