Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jujur Pun Tersingkir dari Rumahnya

Kompas.com - 15/06/2011, 02:35 WIB

Idha Saraswati dan Agnes Swetta Pandia

Siami (32) tidak pernah menyangka bahwa pilihannya untuk bersikap jujur menimbulkan konsekuensi yang besar. Meski dia bersama keluarganya terusir dari rumah karena trauma, ia tidak menyesal atas tindakannya.

”Sebelum mengungkapkan soal contek massal, saya merasa terbebani. Sekarang saya sudah lega. Saya tidak menyesal meskipun tidak menyangka akan jadi seperti ini. Selama saya benar, saya yakin Allah melindungi saya,” ujar warga Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur, itu, Selasa (14/6).

Saat ini Siami bersama suaminya, Widodo (40), dan kedua anaknya memilih tinggal di Gresik. Mereka belum berani kembali ke rumah sejak dievakuasi polisi dari acara pertemuan dengan warga di Balai RW 02 Gadel.

Di lingkungan yang baru, Aam (13) alias Alifah Ahmad Maulana, putranya yang dipaksa oleh guru untuk memberikan contekan kepada teman-temannya di SD Negeri Gadel II saat ujian nasional (UN), kini sudah bisa bermain dengan tenang.

Siami mengaku akan tetap tinggal di Gresik sambil menunggu pengumuman hasil UN anaknya. Sampai saat ini ia belum berniat kembali ke Gadel meski Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah memberi jaminan bahwa warga Gadel tidak akan mengusiknya lagi.

Kisah Siami dan keluarganya dimulai seusai UN SD, Mei lalu. Siami yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit di rumahnya ini terkejut mendengar pengakuan putranya yang dipaksa gurunya untuk memberikan contekan kepada siswa lain.

Perempuan itu lantas berinisiatif melaporkan hal itu kepada Kepala SDN 2 Gadel. Merasa tidak mendapat tanggapan seperti yang diharapkan, ia lantas melaporkan hal itu kepada Dinas Pendidikan Surabaya.

Kasus contek massal pun mulai terkuak dan menjadi bahan pemberitaan di media massa. Menyikapi laporan itu, Wali Kota Surabaya membentuk tim independen guna menelusuri kasus tersebut. Anggota Tim Independen Pemerintah Kota Surabaya, Daniel M Rosyid, menuturkan, Aam adalah siswa pintar di SDN 2 Gadel. Ia terpaksa memberikan contekan kepada teman-temannya saat UN atas perintah dari seorang guru. Bahkan sekolah sempat mengadakan ”geladi resik” untuk contek massal itu.

Dalam pengakuannya, Aam dipaksa memberikan contekan. ”Guru saya, Pak F, yang menyuruh saya memberi contekan. Sebelum UN, justru ia mengatakan, kapan lagi saya bisa membalas budi para guru. Kata Pak F, apa tidak kasihan kalau teman saya tidak lulus,” kata Daniel menirukan Aam.

Berdasarkan temuan itu, Risma memberikan sanksi berupa penurunan pangkat selama 1–3 tahun kepada Kepala SDN Gadel 2 S serta dua guru, yakni F dan P. Dalam kurun waktu tersebut mereka tidak bisa menjabat sebagai kepala sekolah dan guru.

Menurut Risma, langkah ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik pada dunia pendidikan. ”Kepala sekolah sudah minta maaf. Jadi, jangan diperpanjang lagi. Ketiganya sudah menerima sanksi itu,” ungkapnya.

Akan tetapi, kasus ini ternyata tidak berhenti pada pemberian sanksi. Para wali murid kelas VI di SDN 2 Gadel ternyata tidak bisa menerima sikap Siami yang melaporkan kasus contek massal saat UN itu. Puncaknya, mereka mengusir Siami dan keluarganya dalam acara mediasi di Balai RW 02 Gadel, Kamis lalu.

Melihat perkembangan buruk itu, sosiolog Bagong Suyanto dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengemukakan, akar masalah kasus yang dialami Siami sebenarnya konflik antara masyarakat dan negara. Lewat UN, siswa dan orangtua harus menerima bahwa UN adalah satu-satunya metode untuk mengevaluasi prestasi siswa.

Kondisi semacam itu membuat posisi masyarakat terpojok. Maka, warga pun marah atas kejujuran Siami karena mereka tidak ingin anak-anak mereka dituduh mencontek sehingga berpotensi tidak lulus UN.

Konflik antara negara dan masyarakat pun bergeser menjadi konflik antara masyarakat dan masyarakat. ”Apa yang dilakukan ibu Aam itu manusiawi. Dan, yang dilakukan warga juga manusiawi,” tutur Bagong.

Posisi para pendidik setali tiga uang. Meski nilai UN bukan satu-satunya penentu kelulusan, efek trauma pada kesakralan UN masih membekas. Mereka harus menjamin kelulusan siswanya dalam UN karena menjadi syarat kelulusan. ”Kalau mau bicara dari hati ke hati, guru pun ketakutan. Kalau siswanya tidak lulus, dia juga mendapat sanksi. Mereka ini juga tertekan oleh sistem. Jadi, pencopotan kepala sekolah dan guru dalam kasus ini, menurut saya, jadi tidak tepat,” kata Bagong.

Bagong menengarai, kasus semacam di Gadel ini juga terjadi di banyak sekolah. Kunci penyelesaian kasus ini, menurut dia, ada pada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional.

Sosialisasi tentang makna UN harus digencarkan, terutama pada poin bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Harus ada gerakan desakralisasi UN sehingga masyarakat tidak akan terlalu ketakutan lagi pada UN.

Daniel menegaskan, kasus yang menimpa Siami harus segera diselesaikan. Karena itu, Tim Independen Pemerintah Kota Surabaya merekomendasikan agar UN di SDN 2 Gadel tak perlu diulang agar tak merugikan murid dan orangtua. Wacana UN ulangan hanya membuat masalah bertambah rumit.

Daniel menilai, selama UN menjadi penentu kelulusan, kepala sekolah dan guru akan mempertahankan reputasi sekolah. Segala cara akan dilegalkan demi reputasi.

Siami dan keluarganya berharap agar masalah yang menimpa mereka segera selesai. Namun, ia mengaku tidak menyalahkan para tetangga yang telah mengusir mereka dari Gadel. ”Mungkin saat ini mereka belum memahami apa yang saya lakukan itu benar adanya. Tapi, saya yakin, suatu saat mereka bisa paham arti sebuah kejujuran,” kata Siami.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com