Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kusutnya Pendidikan di Papua

Kompas.com - 15/06/2011, 03:15 WIB

M Zaid Wahyudi

Jika pemerintah dan masyarakat menganggap pendidikan kunci kemajuan bangsa, semua pihak harus segera memperbaiki proses pendidikan di Pegunungan Tengah, Papua. Kucuran dana besar tidak akan pernah menyelesaikan masalah karena persoalan pendidikan bukanlah urusan duit semata.

Persoalan mendasar pendidikan di Kabupaten Jayawijaya, induk sejumlah kabupaten pemekaran di Pegunungan Tengah, adalah ketidakhadiran guru-guru di sekolah, khususnya yang berada di luar ibu kota kabupaten Wamena. Gedung-gedung sekolah yang memadai, seperti yang terlihat di Distrik Kurulu, akhir Februari lalu, hanya menjadi tempat murid-murid berkumpul dan bermain.

Kondisi serupa juga ditemukan para pekerja sosial Wahana Visi Indonesia (WVI) yang memantau proses pembelajaran di sejumlah sekolah di beberapa kabupaten di Pegunungan Tengah. Banyak sekolah tidak aktif lebih dari dua tahun. Guru baru datang saat masa ujian hampir tiba. Untuk ujian nasional, anak didik banyak yang diikutkan ujian melalui sekolah di daerah lain.

Di Kabupaten Jayawijaya, para guru lebih senang tinggal di Wamena. Alasannya beragam, mulai dari lokasi sekolah yang jauh dari kota, terbatasnya transportasi umum menuju tempat mengajar, mengurus berbagai administrasi sekolah, hingga sibuk mencari kerja sampingan.

Kerja sampingan jamak dilakukan guru untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang amat mahal akibat distribusi barang yang hanya dapat dilakukan dengan pesawat. Sejumlah guru menyikapi kendala itu dengan mengambil berbagai kredit konsumtif di bank. Akibatnya, sebagian besar gaji mereka habis untuk membayar cicilan utang.

Ketidaksinambungan proses pendidikan membuat sejumlah siswa memilih sekolah ke daerah lain meski harus menempuh perjalanan panjang. Hal itu yang dilakukan sejumlah murid yang kini bersekolah di SD Advent Maima di Distrik Asolokobal. Mereka harus berjalan kaki 2 jam menuju sekolah dan berjalan pulang selama 3 jam naik turun bukit.

Menurut Ramses Revasi, guru SD Advent Maima, sekolah sebenarnya memiliki asrama. Namun, ketiadaan biaya untuk menanggung makan anak-anak membuat operasional asrama terpaksa dihentikan.

Selain persoalan guru, sekolah juga sering libur akibat ketidakhadiran murid. Saat ada pesta adat, khususnya pesta kematian, murid bisa tidak masuk sekolah lebih dari dua minggu. Padahal, selama pesta berlangsung, anak-anak hanya duduk berbincang sambil menunggu waktu makan tiba.

Kerja ekstra

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com