JAKARTA, KOMPAS
Direktur Eksekutif Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo menuturkan, pada jenjang perguruan tinggi, jumlah perempuan dan laki-laki peneliti di bidang ilmu alam hampir seimbang. Namun, setelah keluar dari perguruan tinggi, jumlah perempuan peneliti merosot.
”Di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam maupun di fakultas kedokteran, jumlah mahasiswa perempuan dan laki-laki bisa imbang. Namun, setelah keluar dari kampus, ada angka yang hilang,” katanya pada ”Kick Off L’Oreal Indonesia Fellowships for Women in Science 2011”, Senin (20/6).
Ketertinggalan perempuan peneliti, kata Herawati, antara lain, karena dihadapkan pada pilihan mengejar karier atau keluarga. Pilihan itu menjadi krusial karena peneliti di bidang ilmu alam dituntut fokus bekerja di laboratorium.
Perempuan peneliti perlu didorong karena bisa berkontribusi signifikan, baik bagi keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada dukungan dan fasilitas yang memudahkan mereka menjalani kehidupan sebagai peneliti serta ibu.
”Memberi cuti, dukungan lingkungan, dan pancingan dengan memberi biaya meneliti bisa mendorong perempuan fokus menjadi peneliti,” ujarnya.
Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman menilai, selain hambatan kultural, perempuan peneliti seperti umumnya peneliti di Indonesia juga menghadapi hambatan ekonomi. Sampai saat ini, pengakuan terhadap kiprah peneliti di Indonesia masih sangat kurang.
”Peneliti belum dapat imbalan yang layak. Jadi dia harus menjadi patriot kalau mau meneliti,” katanya.
Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Suryo Hapsoro Tri Utomo menuturkan, pemerintah akan mendorong peneliti terus berkarya.
Salah satunya diwujudkan dengan penghargaan berupa uang Rp 250 juta bagi peneliti di luar negeri yang mau kembali ke Indonesia. ”Penghargaan semacam itu sudah diberikan selama dua tahun terakhir,” ujarnya.