Demikian pendapat sejumlah guru dan akademisi, Selasa (21/6), menyangkut politisasi jabatan kepala sekolah dan kepala dinas di sejumlah daerah.
Seperti dilaporkan Kompas, sejumlah bupati/wali kota kini semakin banyak yang ikut campur dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian kepala sekolah. Banyak pula kepala dinas pendidikan yang tidak memahami persoalan pendidikan serta tidak memiliki visi dan konsep pendidikan.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengatakan, kunci dari persoalan pendidikan adalah tidak adanya konsep dan visi pendidikan. ”Namanya Kementerian Pendidikan Nasional, tetapi yang dikembangkan justru pendidikan internasional tanpa jelas konsepnya,” katanya.
Lebih parah lagi, pendidikan dipisahkan dari kebudayaan. Pendidikan yang mestinya berakar dari budaya bangsa justru kebudayaan diartikan sebagai atraksi yang bisa dikomersialkan.
”Sudah saatnya konsep pendidikan diperjelas dan desentralisasi pendidikan dievaluasi,” ujar Daoed Joesoef.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Abduh Zen mengatakan, dalam rapat koordinasi nasional PGRI beberapa waktu lalu, muncul desakan kepada pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan otonomi bidang pendidikan. PGRI meminta supaya ada reformasi pendidikan secara mendasar dan menyeluruh.
Iwan Hermawan, Sekretaris Federasi Guru Independen Indonesia, mengatakan, evaluasi terhadap otonomi pendidikan terutama menyangkut posisi guru. ”Sebaiknya guru jangan di bawah pemerintah kabupaten/ kota karena mudah dipolitisasi,” ujarnya.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Rohmat Wahab mengingatkan posisi kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan harus dipegang oleh orang-orang yang kompeten sebab dampaknya pada kualitas pendidikan.