JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menegaskan, pengelola sekolah dasar (SD) negeri tidak boleh mengambil pungutan biaya apa pun kepada peserta didik. Mendiknas mengatakan, pemerintah menjamin peserta didik dapat mengenyam pendidikan dasar di SD negeri.
"Kalau ada SD yang mengambil pungutan, tolong laporkan. Kita bentuk posko aduan masyarakat," kata Nuh kepada para wartawan di kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (28/6/2011).
Nuh berjanji akan menindak pengelola SD negeri yang mengambil pungutan biaya. Ia juga mengatakan, pengelola sekolah menengah pertama negeri (SMPN) juga dilarang mengambil pungutan biaya pada saat penerimaan siswa baru.
Sementara itu, terkait rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), Mendiknas mengatakan, pengelola sekolah harus mengalokasikan sebanyak 20 persen dari jumlah yang tersedia untuk pelajar dari keluarga tidak mampu. Sejumlah RSBI memang menerapkan sistem pembayaran subsidi silang kepada murid-muridnya. Langkah itu diambil untuk menutupi biaya operasional karena RSBI juga harus menampung siswa dari keluarga tidak mampu. Meskipun sudah menerapkan subsidi silang, tetap saja siswa dari keluarga tidak mampu secara ekonomi kesulitan menikmati berbagai program yang disediakan RSBI.
Berdasarkan pantauan Kompas, Kamis (26/5/2011), sejumlah SMP dan SMA/SMK berstatus RSBI memiliki program mandiri yang membutuhkan biaya besar hingga jutaan rupiah. Misalnya, program kunjungan ke sekolah mitra di luar negeri dengan tujuan untuk memberikan wawasan internasional kepada siswa.
Nursyamsuddin, Humas SMAN 78 Jakarta, mengatakan, berkat sistem subsidi silang, siswa tidak mampu yang masuk RSBI tetap bisa menikmati semua layanan pendidikan.
"Program yang diselenggarakan dengan biaya mandiri hanya untuk siswa yang bersedia saja karena sekolah tidak mungkin menanggungnya," katanya.
Di sekolah ini, siswa dikategorikan menjadi siswa RSBI dan siswa kelas internasional. Untuk siswa RSBI, siswa boleh memilih untuk ikut ujian bersertifikat internasional seperti Cambridge dan boleh juga tidak. Sebab, untuk satu mata pelajaran bersertifikat Cambridge bisa berkisar Rp 1 juta.
"Namun, siswa di kelas internasional harus mengikuti program tersebut. Siswa yang masuk kelas ini memang harus membayar biaya secara mandiri. Biayanya dipatok sama untuk tiap siswa sebesar Rp 24 juta per tahun," kata Nursyamsuddin.
Firman Syah Noor, Wakil Kepala SMAN 3 Bandung, mengatakan, sekolah juga menyediakan program pertukaran pelajar dengan sekolah mitra. Sekolah yang bermitra dengan salah satu SMA di Singapura itu setiap tahun mengirimkan pelajar untuk tinggal dan belajar di Singapura.
"Semua biayanya ditanggung siswa. Karena itu, program ini hanya untuk siswa yang mau saja," kata Firman.
Demikian juga dengan tes bersertifikat internasional, sekolah tidak memaksa. Firman mengakui, masih sedikit siswa yang ikut tes bersertifikat internasional karena biayanya mahal, yaitu sebesar Rp 750.000-Rp 1 juta tiap mata pelajaran. Adapun lima mata pelajaran yang bisa bersertifikat internasional itu adalah Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Inggris, dan Matematika.
Bambang Nugroho, Humas SMPN 49 Jakarta, mengatakan, sebagian besar biaya operasional RSBI ditanggung masyarakat. Dalam sistem subsidi silang, siswa kaya membayar lebih mahal, sedangkan siswa dari keluarga miskin mendapat keringanan atau bahkan digratiskan.
Hanya pencitraan
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma mengatakan, aturan yang mengharuskan RSBI menerima siswa miskin hanya bersifat pencitraan dan mempertegas kenyataan, bahwa sekolah publik itu hanya untuk segelintir orang.
"Kalau 20 persen untuk siswa miskin, berarti 80 persennya siswa mampu. Masa sekolah publik yang didanai dari uang negara hanya untuk siswa dari kalangan tertentu?" kata Satria.
Menurut Satria, pemerintah tidak perlu membohongi masyarakat dengan menggembor-gemborkan RSBI harus mengalokasikan kursi bagi siswa tidak mampu. Pada kenyataannya, pemerintah telah meliberalisasi sekolah publik yang tadinya sekolah unggulan atau terbaik menjadi sekolah mahal dan elitis.
"RSBI memang diatur undang- undang. Karena itu, kami akan melakukan uji materi terhadap pasal itu," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.