Dedi Muhtadi
Ketika itu, Encep bekerja sebagai petugas satpam di BPTH Jawa-Madura yang kantornya di Taman Wisata Alam Hutan Raya Juanda, 5 kilometer utara Gedung Sate, Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Kota Bandung. Ketua Pemuda Kampung Pakar (Dago Pakar), Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung Barat, itu dikontrak lima tahun (1994-1999) saat BPTH bekerja sama dengan Pemerintah Denmark.
Dari buku panduan itu mula-mula Encep mempelajari bagaimana membuat media tanam. Karena tak pernah bersekolah, membaca buku baginya merupakan perjuangan. ”Bahannya
Kalakay dengan mudah bisa diperoleh di Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda karena hutan seluas 526,98 hektar ini punya puluhan ribu pohon besar yang terdiri dari 40 famili dan 112 spesies. Setiap hari, daun-daun dari pohon hutan yang merupakan vegetasi campuran itu jatuh bertebaran di seantero Tahura.
Ada jenis pohon dari luar negeri, misalnya sosis (
Jenis tanaman dari dalam negeri di antaranya pinus (
Kotoran sapi pun mudah didapat karena di kawasan Lembang, 5 kilometer hulu Tahura, petani membuang kotoran sapi ke Sungai Cikapundung. Namun, Encep membeli kotoran sapi itu dan memasukkannya ke lubang di tanah berukuran 3 meter x 3 meter sedalam 1,2 meter. Bahan serasah atau kompos dari lubang seluas itu bisa mengisi 3.000
Kompos dalam kantong plastik itu lalu dijadikan media tanam persemaian tanaman hutan di pinggir tebing Tahura. Bibit tanaman juga tak sulit diperoleh karena di bawah ribuan pohon tumbuh
Semua itu dia kerjakan sendiri dan setiap tahun Encep bisa menyemai 20.000 tanaman hutan. Di lahan milik Tahura itu awal Juli ini ia memiliki 40.000 benih dari 40-an jenis tanaman hutan yang siap ditanam.
”Kemampuan saya terbatas karena tak dibantu orang lain. Ini pun berkat izin Tahura. Kalau, misalnya, tidak diizinkan menyemai di sini, saya belum tahu,” ujarnya. Jenis tanaman pun terus dikembangkan, misalnya persemaian bibit trembesi untuk penghijauan.
Mengapa tak menyemaikan bibit tanaman yang berjangka pendek, seperti sengon? Alasannya, pekerjaannya tidak untuk usaha yang cepat mendatangkan uang, tetapi demi memuliakan tanaman hutan. Hasil persemaian itu dia sebarkan lewat siapa saja yang membutuhkan penghijauan.
Tentu saja ia mendapatkan penggantian untuk membeli bahan persemaian itu. Namun, bukan jual putus. Artinya, saat datang peminat, ia akan bertanya jenis tanah yang akan ditanami bibit itu. Dia juga menyarankan agar benih yang akan ditanam tersebut harus berketinggian di atas 0,5 meter.
Ketika pembeli datang dan tanaman belum tinggi, ia tak akan memberikan tanaman itu. ”Tunggu sampai tinggi dulu. Saya tak mau begitu ditanam malah mati,” katanya.
Alasan itu dikemukakannya karena memuliakan tanaman semata-mata melestarikan pohon hutan dan menyebarkan penghijauan. Ia memang mendapat penghasilan dari jerih payahnya itu, tetapi itu bukan tujuan utama. Pembeli dia bimbing hingga tanaman tumbuh.
Dari pengalaman menyemai, ia mendapat pelajaran berharga, yakni mengurus anak pohon harus seperti mengurus bayi manusia. Misalnya, ia mengurangi bahan kotoran ayam pada
Maka, dengan media kompos yang diambil dari lingkungan di mana pohon itu tumbuh, anak pohon mudah beradaptasi. Lagi pula daya serap akar tanaman hutan terhadap humus buatan itu tak secepat rumput liar. Media tanam yang dia buat selama ini cocok untuk akar tanaman berdaya serap lambat. Pengetahuan ini dia peroleh hanya berdasarkan pengalamannya selama ini.
Sejak lahir, Encep tumbuh ”liar” di sekitar hutan Bandung Utara di hulu Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung. Pada usia SD, Encep kecil membantu usaha orangtua berjualan bumbu di Pasar Baru Bandung. Ketika berusia delapan tahun, usaha orangtuanya pailit, mereka bercerai, dan Encep menjadi anak telantar.
”Saya teruskan berdagang daun pisang dan
Encep pun sempat menjadi aparat Desa Ciburial saat Bandung Utara diburu investor. Ketika itu ia menjadi saksi hidup perubahan hutan alam Bandung Utara yang merupakan wilayah penangkap air Kota Bandung menjadi hutan beton.
Ia kembali ke lingkungan alam yang membesarkannya dengan memanfaatkan berkah alam, Tahura Djuanda, satu-satunya paru-paru kota yang tersisa di Cekungan Bandung. Dari tangannya, puluhan ribu tanaman hutan itu menyebar di Jawa Barat hingga Pulau Batam dan Bangka
Anak yang tak bersekolah itu telah melestarikan alam, lingkungan, dan kehidupan. Dari satu pohon berdiameter sekitar 30 sentimeter itu kelak bisa menyediakan oksigen bagi kebutuhan hidup 14 orang. Setiap pohon lebat yang tumbuh sebesar itu juga mampu menyimpan 7 meter kubik air hujan.
Anak ”liar” itu melakukannya di tanah ”liar” Tahura Bandung Utara.