Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyemai "Swasta" di Hutan Raya Djuanda

Kompas.com - 06/07/2011, 04:11 WIB

Dedi Muhtadi

Sekalipun tak pernah mengenyam bangku sekolah dasar, Encep Uju hafal hampir semua jenis tanaman hutan. Pengetahuan itu dia peroleh dari buku panduan tentang persemaian tanaman hutan yang diberikan seorang unsur pimpinan dan staf pada Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) tahun 1997-1999. 

Ketika itu, Encep bekerja sebagai petugas satpam di BPTH Jawa-Madura yang kantornya di Taman Wisata Alam Hutan Raya Juanda, 5 kilometer utara Gedung Sate, Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Kota Bandung. Ketua Pemuda Kampung Pakar (Dago Pakar), Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung Barat, itu dikontrak lima tahun (1994-1999) saat BPTH bekerja sama dengan Pemerintah Denmark.

Dari buku panduan itu mula-mula Encep mempelajari bagaimana membuat media tanam. Karena tak pernah bersekolah, membaca buku baginya merupakan perjuangan. ”Bahannya kalakay (daun yang sudah kering) dicampur kotoran sapi, lalu ditimbun selama dua bulan,” ungkapnya. Sesudah menjadi tanah, bahan kompos itu diayak dan diberi garam campur air (air asin) agar tak ada belatung atau organisme pengganggu tanaman.

Kalakay dengan mudah bisa diperoleh di Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda karena hutan seluas 526,98 hektar ini punya puluhan ribu pohon besar yang terdiri dari 40 famili dan 112 spesies. Setiap hari, daun-daun dari pohon hutan yang merupakan vegetasi campuran itu jatuh bertebaran di seantero Tahura.

Ada jenis pohon dari luar negeri, misalnya sosis (Kigelia aethiopica) dari Afrika, mahoni uganda (Khaya anthoteca) dari Afrika Barat, pinus meksiko (Pinus montecumae), cengal pasir (Hopea odorata) dari Myanmar, dan cedar hondura (Cedrela maximum M Roem) dari Afrika Tengah.

Jenis tanaman dari dalam negeri di antaranya pinus (Pinus merkusii Jung), bayur sulawesi (Pterospermum celebicum), kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan beringin (Ficus benyyamina) dari Jawa Barat, damar (Agathis damara) dari Maluku, serta cemarasumatra (Casuarina sumatrana) dari Sumatera.

Kotoran sapi pun mudah didapat karena di kawasan Lembang, 5 kilometer hulu Tahura, petani membuang kotoran sapi ke Sungai Cikapundung. Namun, Encep membeli kotoran sapi itu dan memasukkannya ke lubang di tanah berukuran 3 meter x 3 meter sedalam 1,2 meter. Bahan serasah atau kompos dari lubang seluas itu bisa mengisi 3.000 polybag plastik ukuran 20 cm x 20 cm atau 6.000 polybag ukuran 10 cm x 15 cm.

Siap ditanam

Kompos dalam kantong plastik itu lalu dijadikan media tanam persemaian tanaman hutan di pinggir tebing Tahura. Bibit tanaman juga tak sulit diperoleh karena di bawah ribuan pohon tumbuh petetan. Anak-anak pohon yang tumbuh secara alami di sekitar pohon induknya itu bertebaran karena buah pohon jatuh dekat induknya.

Semua itu dia kerjakan sendiri dan setiap tahun Encep bisa menyemai 20.000 tanaman hutan. Di lahan milik Tahura itu awal Juli ini ia memiliki 40.000 benih dari 40-an jenis tanaman hutan yang siap ditanam.

”Kemampuan saya terbatas karena tak dibantu orang lain. Ini pun berkat izin Tahura. Kalau, misalnya, tidak diizinkan menyemai di sini, saya belum tahu,” ujarnya. Jenis tanaman pun terus dikembangkan, misalnya persemaian bibit trembesi untuk penghijauan.

Mengapa tak menyemaikan bibit tanaman yang berjangka pendek, seperti sengon? Alasannya, pekerjaannya tidak untuk usaha yang cepat mendatangkan uang, tetapi demi memuliakan tanaman hutan. Hasil persemaian itu dia sebarkan lewat siapa saja yang membutuhkan penghijauan.

Tentu saja ia mendapatkan penggantian untuk membeli bahan persemaian itu. Namun, bukan jual putus. Artinya, saat datang peminat, ia akan bertanya jenis tanah yang akan ditanami bibit itu. Dia juga menyarankan agar benih yang akan ditanam tersebut harus berketinggian di atas 0,5 meter.

Ketika pembeli datang dan tanaman belum tinggi, ia tak akan memberikan tanaman itu. ”Tunggu sampai tinggi dulu. Saya tak mau begitu ditanam malah mati,” katanya.

Alasan itu dikemukakannya karena memuliakan tanaman semata-mata melestarikan pohon hutan dan menyebarkan penghijauan. Ia memang mendapat penghasilan dari jerih payahnya itu, tetapi itu bukan tujuan utama. Pembeli dia bimbing hingga tanaman tumbuh.

Rumput liar

Dari pengalaman menyemai, ia mendapat pelajaran berharga, yakni mengurus anak pohon harus seperti mengurus bayi manusia. Misalnya, ia mengurangi bahan kotoran ayam pada polybag karena pertumbuhan tanaman pokok akan terkalahkan oleh rumput yang tumbuh sumbur di polybag. Kalau rumput liar tumbuh pada media tanam yang tersimpan pada puluhan ribu polybag, bukan perkara gampang mencabutinya.

Maka, dengan media kompos yang diambil dari lingkungan di mana pohon itu tumbuh, anak pohon mudah beradaptasi. Lagi pula daya serap akar tanaman hutan terhadap humus buatan itu tak secepat rumput liar. Media tanam yang dia buat selama ini cocok untuk akar tanaman berdaya serap lambat. Pengetahuan ini dia peroleh hanya berdasarkan pengalamannya selama ini.

Sejak lahir, Encep tumbuh ”liar” di sekitar hutan Bandung Utara di hulu Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung. Pada usia SD, Encep kecil membantu usaha orangtua berjualan bumbu di Pasar Baru Bandung. Ketika berusia delapan tahun, usaha orangtuanya pailit, mereka bercerai, dan Encep menjadi anak telantar.

”Saya teruskan berdagang daun pisang dan tisuk (sejenis daun jati untuk pembungkus daging) di Pasar Baru untuk menghidupi diri sendiri,” kenangnya. Menginjak dewasa, ia menjadi buruh bangunan hingga pemborong kerja di Jakarta.

Encep pun sempat menjadi aparat Desa Ciburial saat Bandung Utara diburu investor. Ketika itu ia menjadi saksi hidup perubahan hutan alam Bandung Utara yang merupakan wilayah penangkap air Kota Bandung menjadi hutan beton.

Ia kembali ke lingkungan alam yang membesarkannya dengan memanfaatkan berkah alam, Tahura Djuanda, satu-satunya paru-paru kota yang tersisa di Cekungan Bandung. Dari tangannya, puluhan ribu tanaman hutan itu menyebar di Jawa Barat hingga Pulau Batam dan Bangka Belitung.

Anak yang tak bersekolah itu telah melestarikan alam, lingkungan, dan kehidupan. Dari satu pohon berdiameter sekitar 30 sentimeter itu kelak bisa menyediakan oksigen bagi kebutuhan hidup 14 orang. Setiap pohon lebat yang tumbuh sebesar itu juga mampu menyimpan 7 meter kubik air hujan.

Anak ”liar” itu melakukannya di tanah ”liar” Tahura Bandung Utara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau