Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusaknya Taman dan Ladang Bahari Kami

Kompas.com - 22/07/2011, 04:17 WIB

”Nenek moyangku orang pelaut,” begitu kerap dilantunkan Syahrullah (50) semasa remaja. Ia bangga menjadi nelayan di Kepulauan Seribu. Sepanjang pesisir pantai hingga bawah laut merupakan taman dan ladang bahari yang tak pernah habis menyediakan ruang bermain sekaligus sumber penghidupan. Namun, kebanggaan itu tak lagi dirasakan.

Melaut telah menjadi pilihan terakhir. ”Sekarang lebih enak jadi PNS (pegawai negeri sipil). Penghasilannya jelas. Di sini orang menjadi nelayan karena tidak ada pilihan pekerjaan lain,” tutur Syahrullah.

Ungkapan Ketua Himpunan Nelayan Kepulauan Seribu itu terkesan pesimistis, tetapi sebenarnya beralasan. Saat ini perairan Kepulauan Seribu merana karena digempur sampah dari mana-mana. Sampah rumah tangga menyerbu dari 13 sungai di Jakarta, mencapai sekitar dua ton setiap hari. Setiap memasuki musim hujan, akan mudah kita temui botol air mineral, konde, maupun bungkus plastik terdampar di pantai Kepulauan Seribu.

Tidak hanya melalui sungai, limbah ditumpahkan dari atas kapal. Hampir setiap tahun masyarakat dibuat terkesima menyaksikan perairan mereka dipenuhi limbah cair aspal yang diduga dibuang dari kapal milik perusahaan asing. Sejauh mata memandang keindahan perairan itu berubah menjadi hamparan hitam pekat yang mengerikan. Masyarakat protes dan menuntut pemerintah turun tangan. Memakan waktu sepekan untuk mengangkat limbah itu, tetapi keadaan tak lagi pulih.

”Terumbu karang dan rumput laut mati. Butuh waktu lama bagi kami untuk bisa kembali melaut dan memastikan bahwa ikan-ikan sudah dapat dijaring,” kenangnya.

Pada 14-15 Juni lalu, Kompas menyaksikan kerusakan ekosistem bawah laut Kepulauan Seribu di sekitar Pulau Pramuka. Bersama Komunitas Jurnalis Lingkungan (SIEJ) dipandu sejumlah instruktur dari ODY Dive, kami hanya mendapati sebagian kecil terumbu yang masih baik kondisinya. Padahal, 10 -20 tahun lalu keindahan terumbu karang pernah amat dikagumi. Sebagian besar terumbu karang telah memucatbahkan mati, diduga karena terus-menerus diterpa berbagai jenis limbah.

Untuk mendapati bagian dari rangkaian terumbu yang masih baik kondisinya, kami harus menempuh perjalanan menggunakan kapal motor cepat sekitar 15 menit mendekati Pulau Panggang. Di antara kedua pulau itulah para penyelam dapat menikmati keindahan bawah laut. Namun, kondisi sebenarnya pun telah jauh berubah. Dalam empat kali penyelaman, kami hanya memperoleh jarak pandang maksimal 5 meter karena air laut keruh. Berkali-kali pula pandangan terganggu oleh ban mobil bekas, sepatu olahraga, botol mineral, dan tas plastik tersangkut di antara rangkaian bunga karang.

Sungguh dapat dipahami bagaimana luapan sampah dan limbah yang terakumulasi dari waktu ke waktu merusak tatanan ekosistem laut dan secara perlahan menghabisi sumber penghidupan nelayan. Namun, sampah dan limbah hanyalah satu sisi persoalan.

Nasib nelayan kecil

Pada sisi lain, ruang gerak nelayan Kepulauan Seribu menyempit oleh maraknya kapal-kapal besar dari luar. Jaring trawl mini bermunculan di sekitar Pulau Untung Jawa, mengeruk ikan-ikan besar maupun kecil, serta semua bagian terumbu karang di dasarnya. Jaring gilnet marak beroperasi di sekitar Pulau Peniki/Paniki, memancing ribuan ikan di sekitar rumpon milik nelayan setempat berpindah ke jaring gilnet. Penghasilan nelayan lokal pun menurun drastis.

Nelayan jaring murami di Pulau Pramuka, Syaiful, bercerita, butuh kerja lebih keras jika ingin memperoleh hasil yang sama dengan masa 5 atau 10 tahun lalu. Dahulu nelayan cukup satu atau dua kali menyelam dan menebar jaring untuk memperoleh setengah hingga satu ton ikan. Kini dibutuhkan empat hingga lima kali penyelaman.

Melaut dari pukul 07.00 dan kembali pukul 17.00, Syaiful memperoleh 4 keranjang atau sekitar 300 kilogram ikan ekor kuning dan selar yang dijual ke Muara Karang dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 8.000 per kilogram. Ada juga 10 kg ikan baronang, yang langsung habis dibeli warga setempat dengan harga Rp 40.000 per kg.

Setelah berbagi hasil dengan 8 anak buah, penghasilan bersih Syaiful hari itu hanya berkisar Rp 100.000. Padahal, seluruh modal berupa kapal, jaring, maupun alat penyelaman anak buah kapal menjadi tanggungannya. ”Pekerjaan ini tidak mudah lagi karena kami harus berjuang lebih keras untuk mendapat hasil yang sama dengan waktu-waktu sebelumnya,” katanya.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mengatakan, kondisi nelayan di Kepulauan Seribu merepresentasi kehidupan masyarakat pesisir negeri ini. Sebagai warga di negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya berupa perairan, nelayan justru menjadi kaum paling terpinggirkan. Penghasilan merosot karena beratnya persaingan dengan pemodal besar serta terjadinya perubahan lingkungan bawah laut.

Frekuensi melaut juga berkurang, dari sekitar 270 hari dalam setahun, kini menjadi 170 hari. Penyebabnya adalah gelombang tinggi dan cuaca buruk. Sepanjang Januari hingga September 2010 tercatat 68 nelayan hilang dan meninggal di laut akibat cuaca buruk. Sayangnya, belum ada penyediaan asuransi bagi nelayan. ”Padahal yang dibutuhkan hanya Rp 350 miliar atau 0,035 persen dari total APBN untuk asuransi kecelakaan kerja dan kematian bagi nelayan,” tuturnya.

Pengamat kelautan dari Universitas Indonesia, Hasroel Thayib, mengatakan, pembangunan di negeri ini telah dibuat sedemikian rupa seolah-olah kita semua adalah orang daratan. Kita lupa bahwa kita memiliki laut yang berada pada kawasan coral triangle dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia.

Eksploitasi daratan tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 316 juta jiwa pada 2047. Jika saja pemerintah peduli akan persoalan ini, pemanfaatan dan pengelolaan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan untuk mengatasinya.

Keunggulan isi perairan Indonesia adalah multispesies dalam perairan yang begitu luas. Melalui pemanfaatan teknologi, nelayan tak perlu menangkap ikan secara berlebihan. Hasil tangkap secukupnya dapat diolah menjadi beragam produk turunan. Itu akan meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Menurut dia, pemerintah juga perlu memperbaiki tata ruang pembangunan permukiman serta penanganan sampah dan limbah. Hal itu penting agar perairan sebagai sumber pangan tidak lagi menjadi tempat pembuangan akhir sampah.

Dengan begitu, ekosistem bawah laut dapat terus terjaga agar taman dan ladang bahari sebagaimana dibanggakan Syahrullah tetap berkelanjutan.

(Irma Tambunan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com