Pada saat anak-anak bergembira memperingati Hari Anak Nasional, Sabtu (23/7), di pelosok-pelosok negeri ini ribuan anak harus berjuang keras agar bisa melanjutkan sekolah. Kemiskinan orangtua memaksa mereka bekerja membantu mencari nafkah keluarga.
Ada yang harus setiap hari bekerja selepas atau sebelum jam sekolah, tetapi banyak juga yang hanya pada hari-hari libur, seperti Riski dan Mahmud yang sempat ditemui di Pasar Celancang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/7).
”Lem tikus, lem tikus, murah Rp 2.500. Sisir Rp 1.000. Lem tikus, lem tikus. Sikate Rp 4.000 bae. Gelem tuku bli (mau beli tidak), murah, murah Rp 2.500 bae lem tikuse,” teriak Riski Heri (14) dalam dialek pantura menawarkan barang dagangannya.
Riski, siswa kelas II SMPN II Klangenan, itu bercita-cita menjadi tentara. Untuk mewujudkan mimpinya, ia mengisi waktu pada hari libur dengan berdagang aneka barang kebutuhan rumah tangga sederhana, seperti lem tikus, kapur semut, tutup panci, tutup gelas, sikat cucian, dan
Tidak hanya Riski yang harus bekerja untuk biaya sekolah. Di sampingnya ada Mahmud (14), teman sekolahnya, yang menjajakan barang serupa. Mereka berdua melakoni pekerjaan itu sejak kelas VI sekolah dasar (SD). Saat teman seusia mereka libur sekolah dan beristirahat bersama keluarga, Riski dan Mahmud mesti bekerja. Tujuannya agar bisa sekolah.
Riski dan Mahmud berpindah-pindah pasar, mulai dari Pasar Kanoman, Pasar Celancang, Pasar Tegalgubug, sampai Pasar Losari. Keduanya berangkat pukul 04.00 dari rumah mereka di Desa Jemaras Kidul, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, dan pulang sekitar pukul 13.00. Pada sore hari, mereka menyiapkan lagi barang dagangan untuk dijual besok.
Rata-rata mereka paling banyak membawa pulang
Bagi Riski dan Mahmud, meminta uang kepada orangtua sudah tak mungkin. Ayah Riski menganggur bertahun-tahun. Begitu pula ayah Mahmud yang dipecat dari pekerjaannya sebagai petugas satpam di sebuah pabrik rotan. Jika ingin tetap sekolah, keduanya mesti bekerja keras dan rajin menabung. ”Tapi kalau ibu butuh untuk beli beras, ya celengan (tabungan) harus dipecah,” ungkap Riski.
Nasib Mahmud tak jauh beda. Sudah setahun ini ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi. Bapaknya yang bekerja serabutan masih menanggung lima anak. Karena itu, anak terakhir dari enam bersaudara itu tak mau merepotkan bapaknya. Ia kelak ingin menjadi petugas satpam seperti bapaknya dulu. Untuk bisa menjadi satpam, ia mesti lulus SMA. ”Saya malu minta orangtua terus. Saya kan sudah besar,” kata Mahmud sambil menawarkan dagangannya kepada orang yang lalu lalang di pasar.
Di tempat lain, Priya Pangestu (13), siswa SMPN 18 Kota Cirebon, malah harus bekerja lebih keras lagi. Setiap hari seusai sekolah sekitar pukul 13.00, dia harus membantu bapaknya, Jupri (39), melaut. Saat libur, dia bahkan tak bisa bermain seperti teman-temannya karena harus ikut melaut sejak pagi.
Jika beruntung, Priya dan
Jika hasil menjual ikan banyak, pendapatan Priya juga besar. ”Kalau Bapak mendapat
Riski, Mahmud, Priya, dan puluhan ribu atau bahkan jutaan anak seusia dia atau lebih memang tidak punya pilihan
Pasal 9 Ayat (1) UU itu menyebutkan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. UU mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk semua anak.
Pada saat warga miskin berharap pada pendidikan demi perbaikan kualitas hidup,
Untuk masuk ke SMPN I Kota Cirebon yang berstatus RSBI, misalnya, orangtua mengeluarkan uang masuk minimal Rp 6 juta. Keberadaan kuota 20 persen bagi warga miskin untuk masuk ke RSBI dengan jaminan kualitas pendidikan lebih baik justru berarti pengurangan kursi sekolah negeri bagi kaum
Gregorius Tjaidjadi dari Jaringan Mitra Perempuan dan Anak Jawa Barat mengatakan, keberadaan anak-anak yang menjadi pekerja di bawah umur adalah pelanggaran konvensi
”Dalam kondisi pemerintah lemah, peran masyarakat perlu ditingkatkan. Masyarakat bisa membentuk wadah-wadah atau organisasi yang secara langsung mendukung anak-anak keluarga miskin berhenti bekerja dan
Di satu sisi, Riski, Mahmud, dan Priya sedikit beruntung
Pendidikan yang bermutu di negeri ini kenyataannya tidak semata-mata diperoleh atas dasar keinginan, tekad kuat, dan kerja keras. Pendidikan, lagi-lagi, adalah soal kapital.
Maka, setelah memperingati Hari Anak Nasional kemarin, kita kembali bertanya apa yang bisa kita lakukan untuk mereka yang kurang beruntung itu....