Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Harus Bekerja Keras untuk Bisa Sekolah

Kompas.com - 24/07/2011, 02:57 WIB

Rini Kustiasih

Pada saat anak-anak bergembira memperingati Hari Anak Nasional, Sabtu (23/7), di pelosok-pelosok negeri ini ribuan anak harus berjuang keras agar bisa melanjutkan sekolah. Kemiskinan orangtua memaksa mereka bekerja membantu mencari nafkah keluarga.

Ada yang harus setiap hari bekerja selepas atau sebelum jam sekolah, tetapi banyak juga yang hanya pada hari-hari libur, seperti Riski dan Mahmud yang sempat ditemui di Pasar Celancang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/7).

”Lem tikus, lem tikus, murah Rp 2.500. Sisir Rp 1.000. Lem tikus, lem tikus. Sikate Rp 4.000 bae. Gelem tuku bli (mau beli tidak), murah, murah Rp 2.500 bae lem tikuse,” teriak Riski Heri (14) dalam dialek pantura menawarkan barang dagangannya.

Riski, siswa kelas II SMPN II Klangenan, itu bercita-cita menjadi tentara. Untuk mewujudkan mimpinya, ia mengisi waktu pada hari libur dengan berdagang aneka barang kebutuhan rumah tangga sederhana, seperti lem tikus, kapur semut, tutup panci, tutup gelas, sikat cucian, dan sisir.

Tidak hanya Riski yang harus bekerja untuk biaya sekolah. Di sampingnya ada Mahmud (14), teman sekolahnya, yang menjajakan barang serupa. Mereka berdua melakoni pekerjaan itu sejak kelas VI sekolah dasar (SD). Saat teman seusia mereka libur sekolah dan beristirahat bersama keluarga, Riski dan Mahmud mesti bekerja. Tujuannya agar bisa sekolah.

Riski dan Mahmud berpindah-pindah pasar, mulai dari Pasar Kanoman, Pasar Celancang, Pasar Tegalgubug, sampai Pasar Losari. Keduanya berangkat pukul 04.00 dari rumah mereka di Desa Jemaras Kidul, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, dan pulang sekitar pukul 13.00. Pada sore hari, mereka menyiapkan lagi barang dagangan untuk dijual besok.

Rata-rata mereka paling banyak membawa pulang Rp 50.000 dalam sehari. Dari uang itu, Rp 30.000 dipakai untuk membeli barang dagangan kembali. Sisa untung Rp 20.000 dibagi-bagi lagi, Rp 5.000 untuk transportasi dan Rp 5.000 untuk makan. Sisa uang Rp 10.000 mereka kantongi untuk keperluan sekolah. ”Untuk beli buku dan lembar kerja siswa,” kata Riski.

Menanggung orangtua

Bagi Riski dan Mahmud, meminta uang kepada orangtua sudah tak mungkin. Ayah Riski menganggur bertahun-tahun. Begitu pula ayah Mahmud yang dipecat dari pekerjaannya sebagai petugas satpam di sebuah pabrik rotan. Jika ingin tetap sekolah, keduanya mesti bekerja keras dan rajin menabung. ”Tapi kalau ibu butuh untuk beli beras, ya celengan (tabungan) harus dipecah,” ungkap Riski.

Nasib Mahmud tak jauh beda. Sudah setahun ini ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi. Bapaknya yang bekerja serabutan masih menanggung lima anak. Karena itu, anak terakhir dari enam bersaudara itu tak mau merepotkan bapaknya. Ia kelak ingin menjadi petugas satpam seperti bapaknya dulu. Untuk bisa menjadi satpam, ia mesti lulus SMA. ”Saya malu minta orangtua terus. Saya kan sudah besar,” kata Mahmud sambil menawarkan dagangannya kepada orang yang lalu lalang di pasar.

Di tempat lain, Priya Pangestu (13), siswa SMPN 18 Kota Cirebon, malah harus bekerja lebih keras lagi. Setiap hari seusai sekolah sekitar pukul 13.00, dia harus membantu bapaknya, Jupri (39), melaut. Saat libur, dia bahkan tak bisa bermain seperti teman-temannya karena harus ikut melaut sejak pagi.

Jika beruntung, Priya dan bapaknya bisa mendapatkan Rp 100.000 dalam sehari dari hasil menjual ikan. ”Tapi, lebih seringnya tidak mendapatkan sebanyak itu. Rata-rata Rp 20.000 sehari,” kata Jupri, warga Kelurahan Pesisir, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Jika hasil menjual ikan banyak, pendapatan Priya juga besar. ”Kalau Bapak mendapat Rp 50.000, saya diberi Rp 15.000. Dari Rp 15.000 itu, Rp 10.000 ditabung dan Rp 5.000 untuk jajan di sekolah,” katanya.

Langgar UU

Riski, Mahmud, Priya, dan puluhan ribu atau bahkan jutaan anak seusia dia atau lebih memang tidak punya pilihan lain untuk tetap sekolah selain harus bekerja. Kondisi mereka kontras dengan hak anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang dijamin Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 9 Ayat (1) UU itu menyebutkan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. UU mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk semua anak.

Pada saat warga miskin berharap pada pendidikan demi perbaikan kualitas hidup, pemerintah di sisi lain justru membiarkan biaya pendidikan kian mencekik. Sebagai contoh, warga miskin kesulitan mengakses sekolah bermutu atau berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) lantaran biayanya selangit. Riski, Mahmud, dan Priya cukup bersekolah di SMPN reguler atau sekolah berkualitas ”biasa”.

Untuk masuk ke SMPN I Kota Cirebon yang berstatus RSBI, misalnya, orangtua mengeluarkan uang masuk minimal Rp 6 juta. Keberadaan kuota 20 persen bagi warga miskin untuk masuk ke RSBI dengan jaminan kualitas pendidikan lebih baik justru berarti pengurangan kursi sekolah negeri bagi kaum miskin.

Gregorius Tjaidjadi dari Jaringan Mitra Perempuan dan Anak Jawa Barat mengatakan, keberadaan anak-anak yang menjadi pekerja di bawah umur adalah pelanggaran konvensi internasional mengenai pekerja anak yang dikeluarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

”Dalam kondisi pemerintah lemah, peran masyarakat perlu ditingkatkan. Masyarakat bisa membentuk wadah-wadah atau organisasi yang secara langsung mendukung anak-anak keluarga miskin berhenti bekerja dan bisa bersekolah dengan layak,” kata Gregorius.

Di satu sisi, Riski, Mahmud, dan Priya sedikit beruntung dibandingkan dengan kawan mereka yang lain yang tidak mampu melanjutkan sekolah hingga SMP.

Pendidikan yang bermutu di negeri ini kenyataannya tidak semata-mata diperoleh atas dasar keinginan, tekad kuat, dan kerja keras. Pendidikan, lagi-lagi, adalah soal kapital.

Maka, setelah memperingati Hari Anak Nasional kemarin, kita kembali bertanya apa yang bisa kita lakukan untuk mereka yang kurang beruntung itu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com