Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen Kita Lebih Suka Mengajar daripada Meneliti?

Kompas.com - 26/07/2011, 11:17 WIB

Oleh : dr.Andri, SpKJ*

KOMPAS.com — Suatu saat, saya mengikuti acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi yang dibawakan oleh Slamet Rahardjo. Salah satu bintang tamu yang saya lupa namanya berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, dosen di Indonesia lebih suka mengajar daripada meneliti. Padahal, menurut beliau, Tri Dharma Perguruan Tinggi isinya bukan hanya mengajar (pendidikan), tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya dana penelitian yang disediakan universitas dan minimnya minat terhadap penelitian.

Saya pernah menulis tentang hal ini beberapa waktu yang lalu sepulang saya dari mengikuti pelatihan keterampilan menulis penelitian yang diselenggarakan Dikti. Betul sekali apa yang diungkapkan peneliti LIPI di atas bahwa kita memang kekurangan dosen yang mau untuk melakukan penelitian.

Bagaimana dengan dokter yang menjadi dosen?

Dokter yang menjadi dosen juga mempunyai kecenderungan ini. Baik dokter dari fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta sama-sama memiliki kecenderungan ini. Namun, jika berada di fakultas kedokteran PTN, dokter biasanya terbantu dengan berkesinambungannya penelitian yang dilakukan para peserta didik program spesialis dan program doktor. Sayangnya, hasil penelitian ini masih minim dipublikasikan.

Salah satu hal yang bisa dilihat adalah dalam berbagai seminar kedokteran yang dilakukan, data yang dipaparkan dalam seminar tersebut masih lebih banyak data dari penelitian luar negeri yang dipublikasikan di jurnal ilmiah asing. Jarang sekali saya melihat ada presentasi yang memaparkan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia. Padahal, kalau dipikir-pikir, data tersebut pasti lebih berguna karena subyek penelitiannya adalah orang Indonesia dan bukan orang Eropa atau Amerika seperti banyak dikutip di presentasi para dosen ini.

Kurang "pede" menggunakan data penelitian lokal?

Apakah alasan pembicara di seminar-seminar kedokteran lebih percaya dengan data yang didapatkan dari luar negeri daripada di dalam negeri? Secara obyektif mungkin ini disebabkan penelitian ini dimuat di jurnal-jurnal kedokteran yang terkemuka seperti New England Journal of Medicine, Lancet, Jama, Nature, dan lain-lain. Hal lain adalah akses ke penelitian-penelitian ini sangat mudah karena tersedia online dan beberapa di antaranya gratis.

Bahkan, kalau universitas tempat kita bekerja berlangganan PRO-Quest, ini bisa diunduh dengan dana dari fakultas. Mungkin juga terlihat penelitian yang dihasilkan metodologinya sangat baik dan dibuat oleh para ahli di bidangnya yang sehari-hari kita lihat sebagai pengarang-pengarang text book wajib di kalangan kedokteran.

Secara subyektif mungkin saya bisa menilai kalau kita sendiri kurang percaya diri dalam menggunakan data yang dihasilkan dari penelitian para sejawat sendiri di Indonesia. Kita merasa kurang yakin dengan data yang dihasilkan oleh teman sendiri. Hal ini mungkin dihubungkan dengan kurangnya rasa percaya satu sama lain di antara peneliti Indonesia terutama di bidang kedokteran. Jadi, daripada salah mengambil data rujukan, lebih baik ambil dari luar negeri saja.

Sebab lain adalah akses ke penelitian sejawat yang sangat sulit. Sistem kepustakaan kita kurang baik dan tidak semua hasil penelitian yang dilakukan diterbitkan ke dalam bentuk jurnal ilmiah kedokteran, apalagi yang terakreditasi. Bagaimana saya bisa mengetahui penelitian yang dilakukan sejawat saya di Manado, misalnya, kalau dalam pencarian sederhana di mesin Google tidak ditemukan. Apalagi, kalau mau mencarinya di PubMed karena hanya sedikit sekali jurnal Indonesia yang bisa menembus portal jurnal kedokteran prestisius ini.

Solusi yang bisa ditawarkan

Penelitian di Indonesia sulit maju penyebabnya adalah kurangnya dukungan dana dari pemerintah. Banyak kisah yang kita lihat dan kita dengar, ilmuwan-ilmuwan Indonesia lebih banyak "nongkrong" di laboratorium-laboratorium luar negeri yang sangat prestisius. Mereka tidak mau pulang ke Indonesia. Alasannya, ketika kembali ke Indonesia, mereka akan kesulitan dalam membuat penelitian karena kurangnya dana dan peralatan. Padahal, beberapa penelitian mereka itu sangat penting dalam kehidupan manusia.

Hal lainnya adalah kesejahteraan peneliti di Indonesia. Penelitian membutuhkan waktu dan konsentrasi. Jarang sekali peneliti bisa bekerja sambilan kalau ingin serius meneliti sesuatu. Jaminan kesejahteraan yang tidak pasti menyebabkan sulitnya peneliti di Indonesia berkembang.

Bagi dokter yang juga sebagai praktisi, kurangnya dana dan sulitnya memperoleh dana membuat pikiran dokter akan lebih cenderung menjadi praktisi saja. Sebab, pilihan menjadi peneliti di Indonesia, sayangnya, identik dengan "miskin". Tidak seperti di luar negeri. Di sana, peneliti hidup berkelimpahan sehingga tidak perlu pusing-pusing memikirkan makan untuk keluarganya. Ada memang yang tidak selalu demikian, tetapi biasanya sangat jarang.

Solusinya? Perhatian pemerintah perlu lebih banyak kepada hal ini. Sayangnya, kita memang sudah terbiasa membeli sesuatu jadi dan tinggal pakai. Kita lebih sering mempunyai perilaku konsumtif daripada perilaku sebagai penemu. Memikirkan dana yang besar untuk penelitian, pikiran kita biasanya langsung memilih lebih baik beli jadi saja. Mudah-mudahan ke depan, pikiran seperti ini tidak banyak ditemukan di kalangan generasi muda. Saya yakin, kemampuan otak peneliti Indonesia tidak kalah. Yang penting adalah kesempatan dan dukungan yang ada.

Semoga maju penelitian di Indonesia!

* dr Andri, SpKJ, Psikiater dan Kepala Unit Penelitian di FK Ukrida

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com