Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antisipasi APBN agar Konkret

Kompas.com - 13/08/2011, 03:18 WIB

Jakarta, Kompas - Antisipasi gejolak keuangan di Amerika Serikat dan Eropa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 sebagai instrumen utama kebijakan fiskal harus tercermin konkret. Minimal kebijakan antisipasi tersebut terinci pada sektor finansial dan perdagangan.

Demikian dikemukakan ekonom Econit Advisory Group, Hendri Saparini, di Jakarta, Jumat (12/8). Menurut Hendri, gejolak keuangan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, kalaupun nanti berdampak ke perekonomian Indonesia, pertama-tama yang akan terimbas adalah sektor finansial. Jika imbas di sektor finansial terus berlangsung, dampaknya akan berlanjut pada sektor perdagangan, kemudian baru menimbulkan inflasi.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pengantar Rapat Kabinet Paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, menyatakan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 telah mempertimbangkan semua aspek, termasuk gejolak ekonomi global (Kompas, 12/8).

Atas logika tersebut, Hendri berpendapat, antisipasi melalui APBN pertama-tama harus tecermin di sektor finansial. ”Di sektor finansial, saat ini, semua negara sudah membuat benteng pengaman. Indonesia semestinya juga harus sudah mulai membuat itu. Jangan hanya menikmati dana jangka pendek saja yang nantinya untuk menambal inflasi,” kata Hendri.

Di Thailand, benteng antisipasi itu berupa disinsentif untuk dana jangka pendek dengan menerapkan pajak dibayar di muka, baik untuk kupon atas obligasi maupun keuntungan atas hasil penjualan atau pelepasan obligasi. Brasil menerapkan pajak dengan tarif ganda untuk obligasi pemerintah. Korea Selatan menerapkan pengaturan utang luar negeri.

Dari sisi perdagangan, Hendri melanjutkan, AS tetap merupakan salah satu negara tujuan utama eskpor Indonesia. Artinya, jika dampak gejolak keuangan AS dan Eropa telah menembus sektor perdagangan domestik, imbasnya akan terasa kuat. ”Apa terobosan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan investasi tinggi? Selama ini, investasi pemerintah atau investasi publik terus turun,” kata Hendri.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Ahmad Erani Yustika menyatakan, sudah saatnya RAPBN disusun dengan mempertimbangkan risiko ekonomi, baik itu yang disebabkan karena gejolak moneter maupun di sektor riil. Pertimbangannya, periode krisis mutakhir lebih rapat dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Dulu setiap sepuluh tahunan, kini bisa tiga tahunan.

”Konkretnya, pemerintah mesti mengalokasikan anggaran antisipasi risiko ekonomi minimal 3 persen dari RAPBN. Dengan begitu, setiap ada gejolak keuangan, APBN sudah siap dan tidak perlu negosiasi dengan DPR karena memakan waktu lama. Kalaupun nanti tidak terpakai, anggaran fiskal untuk krisis itu bisa dimasukkan ke dalam Sisa Anggaran Lebih yang bisa dipakai untuk anggaran tahun berikutnya,” kata Erani.

Tekanan mereda

Dari pasar, menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam empat hari terakhir pekan ini diperkirakan akan berlanjut pada pekan mendatang. Tekanan sentimen negatif dari krisis utang di AS dan kekhawatiran pelambatan ekonomi di Eropa mengendur.

IHSG, kemarin, ditutup menguat 21,161 poin (0,55 persen) ke level 3.890,526. Indeks LQ 45 naik 3,309 poin (0,48 persen) ke level 689,603 dan indeks Kompas100 menguat 4,661 poin (0,53 persen) ke level 887,060.

Meski dibandingkan dengan posisi 1 Agustus 2011 IHSG masih tumbuh negatif sekitar 7,73 persen, penguatan empat hari terakhir ini telah mendongkrak indeks sekitar 8,19 persen. Sejumlah analis optimistis penguatan indeks makin besar pekan mendatang.

”Ini kesempatan bagi investor, khususnya investor lokal, untuk masuk ke bursa. Beli saham-saham yang turun harganya secara selektif,” kata pengamat pasar modal Adler Manurung.

(LAS/BEN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com