Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Reduksi Makna Kemerdekaan

Kompas.com - 18/08/2011, 11:15 WIB

 

SURABAYA, KOMPAS.com- Abdul Aziz SR , dosen Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mereduksi maka kemerdekaan saat menyampaikan pidato kenegaraan sehari sebelum Peringatan HUT ke-66 RI, Selasa (16/8/2011) lalu.

"Soal makna kemerdekaan, SBY cenderung mereduksinya sebatas pembebasan bangsa dari keterjajahan asing. Bebas secara fisik belaka," katanya di Surabaya, Kamis (18/8/2011).

Menurut Aziz yang juga Direktur Centre of Public Policy Studies (CPPS) Surabaya ini, SBY tidak menyinggung sama sekali bahwa kemerdekaan di era kemerdekaan adalah juga pembebasan setiap anak bangsa dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kelaparan, ketidakamanan, dan ketidaksetaraan, yang justru saat ini tengah menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini.  

SBY juga tidak menyinggung bahwa kemerdekaan adalah juga lepas dari neokolonialisme ekonomi yang saat ini justru tengah mendera Indonesia. "Lihatlah, Indonesia sungguh-sungguh tidak merdeka sama sekali dalam mengelola sumber daya alam, karena lebih tunduk kepada kekuatan asing (multinational corporations)," tegasnya.

Soal penegakan hukum, lanjut dia, lebih berbicara pada tataran mendorong dan berharap bahwa lembaga-lembaga penegak hukum semakin baik, memiliki integritas dan besikap transparan. Untuk apa? "Presiden kok cuma berharap dan mendorong. Mengapa SBY sebagai pemimpin eksekutif tidak menejaskan kondisi riil penegakan hukum, kebobrokan lembaga-lembaga penegak hukum, berikut menjelaskan agenda bagaimana mengubahnya menjadi baik dan berwibawa. Itu tugas Presiden," katanya.

Soal konsolidasi demokrasi, SBY hanya sedikit menyinggung tentang kualitas partisipasi politik. "SBY sama sekali tidak menyinggung kondisi riil yang sesungguhnya mengenai realitas demokrasi kita. SBY seperti pura-pura tidak tahu kalau demokrasi kita sedang terancam, setidaknya oleh 3 (tiga) faktor," katanya.

Ketiga faktor itu adalah, pertama, politik uang yang sangat luar biasa, dan pelaku utama adalah partai politik. Kedua, menguatnya politik dinasti, baik di pusat maupun di daerah-daerah, termasuk di tubuh partai politik. Ketiga, krisis kepemimpinan di hampir s eluruh lini kekuasaan, akibat kekacauan dan ketidakberesan rekrutmen yang dilakjukan oleh partai politik.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com