Seorang sopir taksi dari Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, berkomentar, ”Sepertinya negara dengan segala aturannya sudah hilang. Orang boleh berbuat semau gue.”
Komentar semacam itu bisa dijaring dengan gampang di jalanan, di pasar, atau di mal. Opini tidak berdiri sendiri. Ia muncul karena menanggapi suatu kejadian. Nada dasar omongan orang jalanan itu, kalau ditangkap dengan telinga hati, menunjukkan kekecewaan mendalam masyarakat kepada para pemimpin pemerintahan sekarang.
Dalam keseharian, tampak sederetan kebijakan dan keputusan yang terasa kurang pas bagi akal sehat dan bahkan mengganggu rasa keadilan. Ketidakberesan dibiarkan seakan-akan memang sudah sewajarnya. Semua ini membuat desas-desus tentang ketidaktepatan kebijakan terus bergulir, yang menjadi benih-benih ketidakpercayaan kepada para pengambil keputusan. Bukankah ini potensi yang mengancam kohesivitas masyarakat?
Gejala yang sangat menggelisahkan sekarang ini adalah yang dikatakan tak ada hubungannya dengan yang dilakukan. Kata-kata ibarat jagat maya yang bermain sendiri dan jumpalitan dengan kesibukannya, sama sekali tidak terkait dengan jagat realitas di dunia fana. Oleh karena itu, berbagai macam rumusan moral, budi pekerti, kearifan lokal, dan seterusnya tidak menunjukkan sentuhan yang efektif.
Semua ini menunjukkan ketidakjelasan arah tentang karakter bangsa. Mungkinkah persoalan yang begitu kompleks bisa diatasi dengan budi pekerti, pendidikan Pancasila, dan khotbah para pemuka agama? Belajar dari pengalaman menatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada era Orde Baru, saya ingin mengatakan bahwa cara-cara seperti itu tidak akan membawa hasil.
Sekian ratus tahun lalu orang sangat percaya bahwa ”pada awal mula adalah kata dan kata menjadi daging”. Sekarang, itu berubah menjadi ”pada awal mula adalah kata dan kata tetap menjadi kata”.
Rendra pernah menulis sajak: ”Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata”. Sekarang, ”kata-kata adalah lanjutan permainan kebijakan politik”.
Putus asa? Dengan tegas, saya jawab, ”Tidak!” Kita masih bisa membenahi secara konkret dan langsung kena sasaran.
Di jalanan, kesemrawutan semakin hebat. Berbagai kota diserbu motor. Semua motor itu desainnya hampir sama: mirip dengan motor yang lari di arena balapan dengan kecepatan minimal 200 kilometer per jam.
Jadi, tampilan para pengendara motor di jalan menjadi sangat mengerikan. Mereka memamerkan keterampilan super tanpa disertai kesadaran bahwa mereka di jalan umum, bukan di arena balapan. Dengan tenangnya, mereka berbondong-bondong di jalan umum mengendarai motor di sisi kanan jalan. Kadang, di sudut jalan ada dua atau tiga polisi, tetapi mereka tak tergerak menghentikan.
Polisi lalu lintas hanya tertarik mengurusi SIM, STNK, dan pelat nomor. Setiap terjadi benturan antarkendaraan yang diusahakan adalah ”damai saja”, bukan mengusut mana yang salah dan mana yang benar.
Banyak orang asing—ada Belanda, Amerika, Inggris, dan Perancis—mengadu kepada saya tentang hal ini. Mereka tak paham hal-hal semacam ini, tetapi menjadi paham mengapa Pemerintah Indonesia tak bisa atasi korupsi: karena filsafat damai.
Salah satu sumbernya adalah kemudahan membeli motor dan mendapatkan SIM. Dengan uang Rp 500.000, orang bisa bawa pulang motor baru. Dengan satu kali ”tembak”, SIM muncul tanpa ujian. Pada saat-saat tertentu dengan generosity yang luar biasa, bus polisi keliling untuk melayani perpanjangan SIM. Ini semua hanya membantu memudahkan untuk mengendarai motor di jalan. Namun, sekali lagi kesadaran kebersamaan, menjaga harmoni, dan menghormati orang lain tidak disentuh.
Itu semua adalah contoh bagaimana hal yang sangat serius digampangkan. Dalam jagat akademik pun, diam-diam ada dosen yang suka main gampang-gampangan dalam membimbing tesis. ”Tinggalkan cek yang tebal. Dalam tempo tiga hari, skripsi akan jadi dan siap uji”.
Hal yang sederhana dan tidak terlalu berkaitan dengan persoalan politik pejabat tinggi ini sebenarnya bisa kita atasi perlahan-lahan. Caranya dengan hukum yang jelas dan tegas penegakannya. Ini jauh lebih efektif ketimbang penataran, budi pekerti, dan khotbah.
Jadi, pembentukan karakter bangsa pun harus bermula dari hukum yang jelas. Bukan dengan kata-kata tinggi, melainkan sanksi bagi yang salah dan hadiah bagi yang selalu menjaga keselarasan.