Mereka bersalah karena tak peduli masalah krusial bangsanya, Indonesia. Padahal Niels Bohr, fisikawan pemenang Nobel asal Denmark, telah mengingatkan, ”being scientist or scholar” seharusnya menghayati integritas ilmu pengetahuan. Salah satunya, tugas khusus kewarganegaraan andalan yang harus dilaksanakan olehnya dengan caranya sendiri sesuai natur disiplin ilmiah masing-masing.
Masalah Indonesia adalah pembangunan nasional. Ia krusial karena cukup spesifik, fundamental, dan desisif. Spesifik karena kondisi alam dan situasi geografisnya. Fundamental selaku negara kesatuan dan republik yang maunya demokratis. Desisif, berhubung melalui pembangunan nasional, ia bertekad memenangi perdamaian, yang menentukan kepastian eksistensinya, setelah berhasil memenangi perang kemerdekaan.
Wajar jika Indonesia mengharapkan solusi masalah nasional yang serba krusial datang dari warga sendiri, terutama dari kelompok terpelajar dan terdidik dalam berpikir serta bekerja menurut penalaran ilmiah dan teknologis. Tapi, yang ditunggu-tunggu selama ini tak kunjung tiba.
Dari sivitas akademika tak pernah muncul disiplin khas yang dikembangkan dari ilmu pengetahuan pokok yang sudah ada, yang dalam dirinya berupa pemikiran akademik dalam konteks pembangunan Indonesia. Tak pernah ada ilmu pengetahuan ”baru” yang pantas disebut politikus pembangunan, hukum pembangunan, sosiologi pembangunan, antropologi pembangunan, kedokteran pembangunan, teknik pembangunan, pertanian pembangunan, dan lain sebagainya. Padahal, semua ilmu pokok yang bisa berfungsi sebagai ”induk” dari disiplin-disiplin ”baru” pembangunan tadi sudah lama dikuliahkan di perguruan tinggi sini.
Yang ada dan betul-betul eksplisit ialah ”ekonomika pembangunan”, the economics of development, ilmu pengetahuan ekonomi dalam konteks pembangunan. Namun, ia dikembangkan oleh ilmu asing, di negeri asing, bersendikan pemikiran ekonomi dan pengalaman pembangunan di Barat. Ia dimulai dari Adam Smith, Keynes, hingga neo-Keynesian dan lama-kelamaan dibuat jadi sejenis analisis fisika-matematis. Berhubung disiplin ”baru” ekonomi ini diterapkan begitu saja di sini, jangan heran kalau hasilnya cukup mengejutkan dan mulai diteriakkan: ”pembangunan Indonesia bersifat kapitalistis, bergaya liberal, menjauh dari aspirasi pembentukan negara-bangsa, tidak Pancasilais...!”
Kesalahan lain sivitas akademika Indonesia: mereka tak peduli nasib ”komunitas ilmiah” yang justru merupakan lingkungan dari hidup dan kehidupan keilmuan. Bagi manusia Indonesia, ilmu pengetahuan modern bukan berupa penalaran yang diwarisi dari nenek moyang. Ia diimpor karena memang diperlukan bagi kehidupan modern yang kian mendunia. Jadi, kita tidak menyadari spirit asal-usul kejadiannya karena tidak pernah mengalami zaman aufklarung atau renaisans.
Pengetahuan ilmiah bukan lanjutan otomatis dari pengetahuan biasa. Ia menuntut suatu tradisi baru keintelektualan. Ilmu pengetahuan lahir hanya dalam konteks komunikasi antara mereka yang menulis dan mereka yang membaca, antara orang-orang yang memakai idiom keterpelajaran untuk mencatat observasinya dan orang-orang yang menganggap catatan tersebut menarik.
Jenis keterpelajaran dan pembelajaran yang kini disebut ”ilmu pengetahuan” adalah contoh gamblang dari uraian di atas karena kerja dari para ilmuwan/sarjana kontemporer bersendikan suatu keseluruhan kompleks dari ide, instrumen, dan lembaga. Tanpa semua ini ”kegiatan ilmiah” nyaris tak mungkin.