Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangun Tata Kelola UI Berhati Nurani

Kompas.com - 07/09/2011, 02:05 WIB

Emil Salim

Sudah menjadi tradisi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia setiap tahun menyelenggarakan pertemuan halalbihalal mempererat ikatan silaturahim antaranggota keluarga fakultas.

Kali ini keadaannya agak istimewa. Melalui media sosial, saya ”ditodong” memberikan ”orasi ilmiah” tentang pemberian gelar doktor honoris causa oleh rektor UI kepada Raja Arab Saudi, beberapa waktu lalu. Semula saya risi menyampaikan ”orasi ilmiah” dalam acara yang sarat dengan semangat persaudaraan, kekeluargaan sesama anggota sivitas akademika FEUI khususnya dan UI umumnya.

Namun, saya kemudian tertegun ketika selama beberapa hari terakhir menerima ratusan SMS dan surat elektronik yang datang bertubi-tubi. Dari ratusan SMS dan surat elektronik ini tersimpul kehausan pada tata kelola UI yang lebih baik dan bertumpu pada keinginan agar bisa ditegakkan: (1) pola manajemen yang transparan; (2) akuntabilitas dalam pelaksanaan; (3) partisipasi dari para penopang kepentingan dalam universitas; (4) berkembang subur sistem checks and balances dalam pengelolaan universitas; (5) tumbuhnya suasana kreativitas bebas dari rasa ketakutan untuk berbeda pendapat dalam kampus universitas.

Selama satu dekade lebih, sejak diterbitkan PP Nomor 152 Tahun 2000, UI tumbuh dan berkembang sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Selama satu dekade itu pula sifat demokratis dengan pola checks and balances tampak dengan jelas dalam tata kelola organisasi UI. Hal itu didukung keberadaan organisasi UI yang terdiri atas: (1) Majelis Wali Amanat (MWA); (2) Dewan Audit; (3) Senat Akademi; (4) Dewan Guru Besar (DGB); dan (5) pimpinan universitas.

Atas permohonan sebuah yayasan, pada 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), penafsiran Pasal 53 Ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan pencabutan penjelasan Pasal 53 UU Sisdiknas, serta mencabut hal terkait dengan istilah BHP.

Implikasi keputusan MK itu lahir PP No 66/2010 tentang Perubahan atas PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Intinya, antara lain, menjelaskan bahwa: (1) pengelolaan pendidikan yang dilakukan UI masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan PP ini; (2) penyesuaian pengelolaan dilakukan paling lama tiga tahun sebagai masa transisi sejak PP diundangkan; (3) penetapan lebih lanjut setiap perguruan tinggi BHMN sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah ditetapkan dengan peraturan presiden; (4) PP No 152/2000 tentang Penetapan UI sebagai BHMN masih tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak bertentangan dengan PP ini (PP No 66/2010) dan peraturan perundang-undangan sesudah masa transisi, berikut tata kelola perguruan tinggi dinyatakannya, kecuali keuangan.

Pasal-pasal tentang masa transisi ini menimbulkan multitafsir antara pendapat hukum rektorat dengan penasihat hukumnya— didukung Dirjen Pendidikan Tinggi—di satu pihak dan pendapat hukum yang diperoleh MWA, DGB UI, dan DGB Hukum UI yang secara khusus diminta legal opinion-nya oleh MWA.

Pendapat hukum yang saya terima menyimpulkan, keberadaan BHMN sebagai badan hukum telah tidak ada. Namun, berdasarkan Pasal 220A PP No 66/2010 dan dikukuhkan oleh Pasal 229H PP No 66/2010, tata kelola perguruan tinggi yang diatur dalam PP No 152/2000 tentang Penetapan UI sebagai BHMN masih tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan tinggi yang tak bertentangan dengan PP ini dan peraturan perundang-undangan sesudah masa transisi.

Seharusnya selama masa transisi hingga keluar Peraturan Presiden tentang Status UI dan Keputusan Mendiknas tentang Statuta UI, tata kelola UI dan organ-organ UI masih mengikuti PP No 152/2000. Sementara itu, rektor telah melaksanakan perubahan organ-organ di UI sesuai PP No 66/2010 tanpa menunggu payung hukum soal status UI maupun statuta UI yang menjadi landasan tata kelola UI.

”Bermain” di masa transisi

Dengan keprihatinan yang mendalam, saya pelajari dampak tidak dijalankannya masa transisi dari sisi ketiadaan good governance dengan checks and balances yang memadai. Organ Senat Akademi Universitas, yang keanggotaannya berakhir 17 Juli 2011, ternyata diubah pada 15 Mei 2011 jadi Senat Universitas, suatu organ yang baru ada dalam PP No 66/2010 tanpa mengindahkan masa transisi. Karena tak ada perwakilan Senat Universitas dalam MWA, terpangkas dan terputuslah prinsip partisipatori dalam pola good governance ini melalui MWA.

Bagaimana mekanisme dan proses pemilihan dan penentuan anggota Senat Universitas? Seharusnya mekanismenya diatur dalam statuta UI, yang ternyata belum ada sekarang ini.

Hal serupa juga terjadi pada organ DGB UI, yang berakhir masa tugasnya 24 Agustus 2011. Lagi-lagi DGB mengalami kenyataan bahwa pekerjaannya tak dilanjutkan karena ”tak dikenal dalam PP No 66/2010”. Keharusan adanya masa transisi seperti diamanatkan PP No 66/2010 itu diabaikan. Lagi pula, apabila masa kerja anggotanya habis, tidak berarti organ DGB dibubarkan.

Konsep statuta UI yang menyangkut karakter dan semangat UI diajukan rektor kepada Mendiknas tanpa konsultasi dan partisipasi dengan MWA dan DGB UI. Ke mana prinsip-prinsip tata kelola good governance? Lebih menarik lagi, konsep statuta UI disampaikan kepada Mendiknas, sementara PP tentang status hukum UI yang jadi dasar pembuatannya belum diterbitkan.

Mengapa saya membuka aib UI di hadapan publik? Hal itu tak lain karena saluran yang semula terbuka bagi saya—selaku anggota MWA—menyampaikan masalah intern UI kepada yang berkepentingan sejak beberapa lama tertutup karena anggapan bahwa organ MWA tidak dikenal dalam PP No 66/2010.

Saya bersyukur bahwa Minggu (4/9) malam telah berlangsung pertemuan di rumah saya antara Saudara Gumelar (Rektor UI), Dipo Alam (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia/Iluni), dan saya untuk kemudian sepakat membentuk tim guna mengatasi kemelut dan menyelamatkan UI dengan menegakkan good governance dalam lingkungan UI.

Permasalahan yang saya singgung di sini bukanlah menyangkut masalah perorangan diri pribadi saya selaku anggota, atau Saudara Gumelar sebagai rektor, atau Saudara Dipo selaku dari Iluni. Apa yang ingin saya angkat di sini adalah roh UI yang diembannya selama puluhan tahun. UI bukanlah sekadar kumpulan gedung di kampus Depok atau Salemba. UI bukan pula kumpulan guru besar, dosen atau orang pintar, serta mahasiswa yang rajin kuliah Senin-Jumat, pagi-sore.

UI selama sejarah hidupnya adalah mercusuar kemandirian moral yang tegar berdiri dalam kegelapan masa apa pun, diterjang angin topan perlawanan sedahsyat apa pun. Karena UI diisi oleh keberanian moral membangun masyarakat yang demokratis dan mampu bersaing secara global. Marilah kita tetap tegakkan almamater Universitas Indonesia, meneruskan sejarah gemilangnya masa lampau untuk tetap menjadi kekuatan moral membangun masyarakat yang demokratis dengan tata kelola UI yang berhati nurani.

Emil Salim Dosen Pascasarjana UI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com