Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Metamorfosis Sekolah Swasta

Kompas.com - 09/09/2011, 04:18 WIB

OLEH SIDHARTA SUSILA

Bagaimanakah sesungguhnya negara menyikapi sekolah swasta? Berita tentang guru swasta yang tak terlindungi (Kompas, 3/9) mengusik kita mengajukan pertanyaan di atas.

Apa yang disajikan Kompas hari itu bukanlah hal asing. Barangkali kita malah sudah bosan membaca berita mengenaskannya nasib guru swasta.

Namun, justru karena realitas itu terus diteriakkan, dan realitasnya nasib sebagian besar guru swasta memang mengenaskan, pertanyaan di atas layak dijawab dengan serius.

Cara pemerintah

Seruan Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo agar pemerintah menjamin kesejahteraan guru swasta dan guru honorer, terkait upah minimum, mewakili pemikiran rakyat dalam memperjuangkan keberlangsungan pendidikan di negeri ini. Nalarnya sederhana. Kalau guru terjamin hidupnya, mereka dapat mengajar dengan baik. Pendidikan di negeri ini pun terselamatkan.

Agaknya pemikiran dan nalar pemerintah tidak seperti itu. Pemerintah pasti juga berjuang menyelamatkan pendidikan di negeri ini agar semua anak dapat bersekolah. Cara yang dipilih pemerintah adalah menambah daya tampung sekolah-sekolah negeri, bukan menjadikan gaji guru swasta dan guru honorer layak.

Mengapa cara ini yang dipilih? Barangkali kita bisa memahaminya dengan hitung-hitungan dana yang harus ditanggung pemerintah. Seperti ditulis Kompas, gaji guru swasta per bulan antara Rp 150.000 hingga Rp 700.000. Untuk mencapai pendapatan layak, pemerintah harus menambah Rp 700.000 per guru.

Kalau di satu SD ada enam guru dan satu pesuruh, setiap bulan pemerintah harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 juta. Itu baru satu SD. Bayangkan ada berapa SD swasta dengan gaji guru amat kecil di negeri ini. Bayangkan pula berapa dana yang harus dikeluarkan pemerintah dalam setahun agar pendapatan semua guru swasta layak di negeri ini. Ingat, ini baru SD. Bayangkan pula dana yang harus dikucurkan pemerintah untuk menjadikan gaji semua guru tingkat SMP dan SMA layak.

Jadi, kini kita paham kalau akhirnya pemerintah seperti tak terusik oleh realitas mengenaskan terkait nasib para guru sekolah swasta miskin yang terus diteriakkan. Kita juga paham mengapa pemerintah lebih memilih menambah daya tampung sekolah negeri meskipun di dekat sekolah negeri itu ada sekolah swasta yang kian sekarat.

Pemerintah menghadapi pilihan yang sulit apabila memilih menyejahterakan guru swasta dengan menjadikan gaji mereka layak. Konsekuensi dana yang harus terus dikeluarkan jauh lebih besar ketimbang membangun gedung baru dan menambah satu-dua guru PNS. Kalau akhirnya kian banyak sekolah swasta yang sekarat dan mati, ini tentu pil pahit yang sudah terduga. Suka atau tidak, pemerintah seharusnya ikut menelan pil pahit itu.

Metamorfosis pendidikan

Sampai di sini, masygul rasanya merenungkan peran sekolah swasta di negeri kita dewasa ini. Sekolah swasta seolah telah menjebak negara yang bertanggung jawab menyejahterakan segenap guru di negeri ini. Banyaknya sekolah swasta miskin berarti begitu banyak pula guru dengan gaji tak layak. Mereka seperti sel kanker yang menggerogoti negara. Karena itu, secepat mungkin harus disingkirkan. Meski sesungguhnya selama sekolah swasta ada, mereka telah menanggung sejumlah besar dana yang mestinya diongkosi negara demi terpenuhinya kesempatan belajar bagi segenap anak bangsa. Namun, pasti sekolah-sekolah swasta miskin itu tidak akan bertahan lama.

Akhirnya hanya tinggal sekolah-sekolah swasta kaya. Itu berarti pada saatnya sekolah swasta terpaksa hanya harus menampung anak orang berduit.

Stigma sekolah swasta hanya bagi kaum berduit tak terelakkan. Apa daya, sekolah swasta harus mempertahankan diri karena biaya penyelenggaraan pendidikan yang tinggi. Komersialisasi pendidikan pun kian menggila. Sekolah tiba-tiba telah menjadi medan pertempuran tebar pesona. Sekolah jorjoran dengan kemutakhiran fasilitas, kemegahan gedung, dan beragam program prestisenya, yang biayanya pasti amat mahal.

Pada saat itu sekolah akan kehilangan roh sejatinya. Alih-alih jadi komunitas yang membangun karakter unggul siswanya. Dalam geliat tebar pesona, dinamika sekolah penuh kepura-puraan dan makin menyuburkan karakter hedonis, konsumeris, dan pragmatis kepada para siswanya.

Metamorfosis sejumlah sekolah semacam ini agaknya mulai bisa kita cecap. Itu berarti pendidikan di negeri ini pun sedang bermetamorfosis. Akankah kita biarkan gulir metamorfosis itu yang menjadikan sekolah sebagai komunitas hedonis, konsumeris, dan pragmatis? Ngeri membayangkan nasib negeri ini ketika pendidikan tidak lagi menjadi komunitas yang membangun karakter unggul peserta didiknya.

SIDHARTA SUSILA Pendidik di Yayasan Pangudi Luhur di Muntilan, Magelang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com