Nusa Dua, Kompas
Persoalan itu mengemuka dalam seminar internasional tentang deradikalisasi yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (8/9), di Nusa Dua, Bali.
Seminar yang dibuka Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto itu bertujuan mencari rumusan program deradikalisasi yang efektif untuk mematikan ideologi radikal yang menyuburkan terorisme.
Bilveer Singh dari National University of Singapore mengatakan, radikalisasi diri adalah proses seseorang dalam mempelajari agama secara otodidak dengan sudut pandang ekstrem. Sumber pembelajaran didapat dari situs internet, buku, majalah, atau rekaman video yang dijual bebas.
”Radikalisasi diri muncul karena selama ini fenomena tersebut luput dari perhatian,” kata Bilveer. Upaya pemberantasan terorisme selama ini dilakukan dengan mengawasi tempat-tempat tertentu yang dicurigai sebagai sarang teroris. Oleh karena itu, jaringan teroris mencari cara baru untuk bertahan, yaitu memanfaatkan teknologi informasi.
Menurut Bilveer, radikalisasi diri ini sudah muncul di beberapa negara, seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Dalam penelitiannya, Bilveer menemukan lebih dari 6.000 situs internet bermuatan radikalisme agama.
”Radikalisasi diri ini menjadi sebuah proses perekrutan teroris yang informal, tanpa dilakukan dalam wadah organisasi,” katanya.
Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengakui, keterbukaan informasi menjadi tantangan terberat dalam mencegah penyebaran radikalisme agama. Karena itu, dibutuhkan kerja sama dengan negara lain untuk menghentikan penyebaran radikalisme ini, terutama yang melalui internet.
Mohamed Feisal dari Religious Rehabilitation Group di Singapura mengatakan, radikalisasi diri ini dapat diantisipasi dengan berbagai cara. Di Singapura, beberapa tokoh agama rutin menemui mantan teroris untuk mematikan ideologi radikal itu.
Djoko Suyanto mengatakan, radikalisasi diri harus dihadapi dengan pendekatan yang komprehensif, melalui pendidikan dan juga sosial ekonomi (mengentaskan rakyat dari kemiskinan).