Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PENDIDIKAN

Ini Soal Akurasi

Kompas.com - 16/09/2011, 10:51 WIB

KOMPAS.com - Basri (50), ayah enam anak ini, hanya sanggup menyekolahkan empat anak pertamanya sampai SMP. Setelah lulus, dua anak pertamanya dinikahkan, anak ketiganya diberangkatkan ke Arab Saudi menjadi tenaga kerja wanita, dan anak keempatnya menganggur. Kini, dia harus berjuang menyekolahkan anak kelima dan keenam yang duduk di kelas IV dan I SD.

Basri sangat ingin menyekolahkan anak keempatnya itu ke sekolah teknik menengah (sekarang SMK), tetapi tidak kuat mencari uang untuk biaya pendaftaran yang mencapai Rp 1,5 juta. Penghasilannya sebagai tukang becak di Cirebon, Jawa Barat, hanya Rp 750.000 sebulan. Tanpa biaya sekolah saja, biaya hidup keluarganya sudah Rp 1,6 juta, terutama uang belanja makan Rp 600.000, bayar air PDAM Rp 47.500, dan listrik Rp 30.000 sebulan.

”Kalau sudah masuk sekolah sebenarnya ringan karena memang digratiskan. Namun, pas masuk pertama kali itu yang besar biayanya,” ujar warga Desa Duku Jati, Indramayu, Jawa Barat, yang sudah merantau 13 tahun di Cirebon ini.

Wariah (45) menunjukkan secarik kertas yang dipercaya sebagai kuitansi resmi dari SMP tempat anaknya, Darmawan, menimba ilmu saat ini. Itu bukti bahwa Wariah sudah membayar uang sumbangan pengaspalan Rp 50.000.

”Ini namanya saja sumbangan, tetapi setiap murid diminta Rp 200.000. Saya hanya punya Rp 50.000. Jadi, yang Rp 150.000 belum bisa dibayar. Kalau sisa sumbangan itu tidak dibayar, anak saya tidak bisa ikut ulangan,” ujar ibu dua anak warga Desa Kesenden, Cirebon, ini.

Padahal, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh pernah menegaskan, tidak boleh ada pungutan tambahan bagi orangtua siswa, apalagi yang dinamakan sumbangan yang memaksa.

Beda lagi dengan Hasan dan Feri, anak pasangan Sanan (50) dan Kami (46), yang memutuskan tidak ingin sekolah karena tidak diberi uang jajan selama bersekolah. Penghasilan Sanan sebagai tukang kayu tidak bisa diharapkan di tempatnya menetap, Desa Sumberwringin, Kecamatan Klakah, Lumajang, Jawa Timur.

Di sisi lain, Bupati Lumajang Syahrazad Masdar mengaku telah menerbitkan keputusan yang membebaskan biaya bagi anak sekolah. Sekolah gratis dari SD, SMP/madrasah tsanawiyah, hingga SMA/madrasah aliyah tidak hanya dilaksanakan oleh sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta.

Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Lumajang mengalokasikan anggaran untuk Dinas Pendidikan Lumajang sebesar Rp 557,80 miliar. Itu setara dengan 50 persen anggaran belanja APBD Lumajang 2011.

Ironis

Keadaan Basri dan Wariah terasa ironis karena pada saat yang sama ada tambahan dana pendidikan Rp 15,612 triliun yang muncul sebagai dampak kenaikan anggaran belanja negara dalam APBN Perubahan 2011. Dana ini mengalir ke lima kementerian, yakni Kementerian Pemuda dan Olahraga Rp 100 miliar, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rp 270 miliar, Kementerian Agama Rp 3,1 triliun, Kementerian Kesehatan Rp 360 miliar, dan Kementerian Pendidikan Nasional Rp 11,782 triliun.

”Tambahan dana ini untuk menambah beasiswa, bukan proyek fisik, karena waktu yang tersisa tinggal sedikit (harus habis sebelum 31 Desember 2011),” tutur Nuh.

Sebelumnya, anggaran pendidikan dalam APBN 2011 sudah sebesar Rp 248,978 triliun, belum termasuk tambahan Rp 15,612 triliun itu. Anggaran tersebut dibagi atas dua komponen. Pertama, anggaran pendidikan pada kementerian dan lembaga Rp 89,744 triliun. Kedua, anggaran yang ditransfer ke daerah Rp 158,234 triliun.

Keinginan Basri menyekolahkan anaknya ke SMK sebenarnya bak gayung bersambut dengan niat Mendiknas. Nuh berpendapat, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibutuhkan lulusan pendidikan teknik yang lebih banyak. Maka dari itu, lulusan teknik ditargetkan naik dari 603.649 orang pada 2010 menjadi 1.116.493 orang pada 2015.

Untuk mendorong itu, pemerintah menyusun rencana besar anggaran pendidikan yang pada tahun 2025 akan mencapai Rp 1.360 triliun. Pemerintah berharap angka partisipasi kasar (APK), yaitu rasio jumlah siswa yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk, akan mencapai 53 persen. Angka itu meningkat dibandingkan dengan APK tahun 2010 sebesar 26,34 persen dan APK pada 2015 yang diperkirakan sebesar 33 persen.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan menilai, lolosnya Basri dan Wariah dari dana bantuan pendidikan itu disebabkan kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran secara akurat masih rendah. Pemerintah seharusnya membuat peta kebutuhan program dan anggaran serta prioritasnya.

”Jadi, ketika ada tambahan dana, mereka segera tahu program yang mana yang masih dibutuhkan, seperti BOS (bantuan operasi sekolah) juga belum mencakup semua. Belum lagi bicara peningkatan mutu,” ujarnya. (OIN/HAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com