Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kualitas Guru, Persoalan Internasional

Kompas.com - 21/09/2011, 03:10 WIB

Luki Aulia

Tersisa waktu empat tahun untuk mencapai target Pendidikan untuk Semua (Education for All). Pada tahun 2015 diharapkan semua anak tanpa terkecuali sudah mengenyam pendidikan dasar. Hanya saja, target itu akan sulit tercapai karena kualitas dan kuantitas guru tidak merata di antara daerah.

Kekhawatiran itu muncul dalam Forum Dialog Kebijakan Internasional Ketiga dari International Task Force on Teachers for Education for All (EFA), 13-14 September, di Kuta, Bali. Kesenjangan guru itu dikhawatirkan akan mengganjal pencapaian target Pendidikan untuk Semua (PUS).

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Sistem Pendidikan UNESCO Paris David Atchoarena memperkirakan dunia membutuhkan sekitar 8,2 juta guru (2009-2015) karena idealnya satu guru mengajar maksimal 40 siswa. Namun, rasio guru dan siswa ideal itu masih jauh dari harapan. Seperti di wilayah subsahara Arab, misalnya, tidak akan bisa mencapai patokan ideal itu karena masih membutuhkan 1,1 juta guru.

Begitu pula dengan kawasan Asia Timur dan Pasifik yang masih membutuhkan 2,1 juta guru serta 1,9 juta guru di Asia Barat dan Selatan.

Le Thu Huong dari Education Policy and Reform Unit Unesco Bangkok khawatir dalam beberapa tahun ke depan akan ada beberapa negara yang kekurangan guru, seperti Kamboja (4 persen), Malaysia (5 persen), Korea Selatan (24 persen), Thailand (8,9 persen), dan Timor Leste (20 persen).

”Sebaliknya, jumlah guru SD di Brunei, China, Indonesia, dan Laos justru akan terlalu banyak,” kata Huong.

Kesenjangan kuantitas dan kualitas guru di beberapa daerah, kata David, memengaruhi kualitas pendidikan karena pendidikan bermutu ditentukan pula oleh guru yang bermutu. Jadi, solusi peningkatan mutu pendidikan bukan pada penambahan jumlah guru karena hal itu akan sulit dilakukan terutama di daerah terpencil. Tidak semua guru bersedia mengajar di daerah khusus yang bermedan sulit dan serba terbatas.

Beragam insentif

Berbagai cara dilakukan untuk menarik minat guru mengajar di daerah khusus, seperti menaikkan gaji pokok, menambah tunjangan khusus, tunjangan kemahalan, beasiswa, pelatihan, dan promosi jabatan khusus atau kenaikan pangkat yang dipercepat seperti yang dilakukan Korea Selatan.

Meski telah diberikan banyak iming-iming, Direktur Sekretariat Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Witaya Jeradechakul mengatakan, banyak negara anggota mengeluhkan sulitnya menugaskan dan mempertahankan guru untuk mau mengajar di daerah khusus, terutama daerah terpencil dan perbatasan.

Bahkan Pemerintah Laos membuat ketentuan baru untuk tidak hanya memberikan tunjangan khusus, tetapi juga bantuan perumahan bagi guru yang bersedia mengajar di daerah terpencil.

Hal itu juga dilakukan Indonesia. Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyebutkan, pemerintah telah memberikan tunjangan khusus sebesar satu kali gaji pokok dan fasilitas tambahan berupa bantuan rumah dan beasiswa bagi anak- anak guru yang bersedia mengajar di daerah terpencil.

Kompetensi

Kepala Pengembangan Sumber Daya Manusia Sektor Indonesia di Bank Dunia Mae Chu Chang mengingatkan, guru tidak hanya membutuhkan peningkatan kesejahteraan untuk menjadi profesional. Guru juga membutuhkan penghargaan dan pelatihan untuk mengembangkan profesionalitasnya. Seperti yang dilakukan Finlandia.

Finlandia berhasil membuat guru menjadi profesi yang paling diminati setelah gaji dan status guru dinaikkan hingga hampir setara dengan guru besar di perguruan tinggi. Oleh karena proses pemilihan yang selektif dan iklim yang kompetitif, guru menjadi profesi favorit. Apalagi dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan peluang pengembangan profesionalitas yang luas sehingga menjanjikan masa depan yang cerah.

”Hasilnya, guru menjadi kian terlatih dan kompeten karena guru tidak hanya dituntut memahami pedagogis, tetapi juga harus bisa menjadi peneliti,” kata Mae Chu Chang.

Faktor kunci

Mae Chu Chang berkeyakinan, guru merupakan faktor terpenting untuk kesuksesan proses pembelajaran dan menghasilkan siswa yang berkualitas. Untuk mencapai itu, guru harus memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kualifikasi yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas profesionalismenya.

Education International (EI) dan Oxfam Novib (ON) mengidentifikasi kompetensi utama guru yakni memiliki pengetahuan, kemampuan pedagogi, komunikasi, perilaku, dan nilai.    

Guru yang baik bisa menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan, kreatif, fleksibel, reflektif, dan memenuhi kebutuhan siswa.

Berdasarkan survei Bank Indonesia pada Desember 2009 terhadap 930 guru non-S-1 dan 570 guru bergelar S-1 di 240 sekolah dasar terbukti bahwa guru yang bergelar S-1 memiliki kualitas lebih baik daripada guru non-S-1. Menyadari hal itu, Korea Selatan, Finlandia, Singapura, dan Jepang sejak lama telah mensyaratkan guru untuk memiliki gelar minimal S-1.

”Ada hubungannya antara kualifikasi guru dan hasil belajar siswa. Meski demikian, kualitas pelatihan guru juga menentukan,” kata Mae Chu Chang.

Jeradechakul menambahkan, indikator kualitas sekolah bisa dilihat dari perilaku guru di ruang kelas. Untuk memperoleh guru yang berkualitas, perlu diperhatikan status guru, proses perekrutan, penugasan, pelatihan, dan insentif.

Konsultan Teachers for EFA, Hans Scheerer, menilai, Indonesia masih memiliki banyak guru dengan kualifikasi yang rendah.

Sampai 2010, jumlah guru di Indonesia yang memenuhi kualifikasi S-1/D-4 baru mencapai 58,2 persen dan yang telah memperoleh sertifikasi sebanyak 34,4 persen dari total sekitar 2,7 juta guru.

Anggaran

Di Asia Barat dan Selatan, anggaran pemerintah untuk pendidikan relatif naik, tetapi tidak stabil. Sementara di Asia Timur dan Pasifik justru menunjukkan tren menurun. Di banyak negara, porsi terbesar dari anggaran untuk pendidikan habis digunakan untuk pembayaran gaji dan tidak pada peningkatan hasil pembelajaran siswa.

Dosen Ewha Woman’s University Korea Selatan, Hye Young Chung, juga mengaku anggaran pemerintah terbesar diperuntukkan bagi gaji guru.

Untuk mendorong mutu guru di daerah terpencil, China juga mengalokasikan anggaran khusus sebesar 81 juta dollar AS bagi 1,15 juta guru (95,6 persen dari sekolah di pedesaan).

Pemberian gaji guru di Singapura tidak dilakukan sembarangan. Singapura secara ketat memantau gaji awal guru dan secara bertahap menyesuaikan gaji guru-guru baru. Setelah tiga tahun mengajar, guru akan dievaluasi secara rutin setiap tahun jalur karier mana yang lebih cocok untuk mereka, apakah menjadi guru besar, spesialis di kurikulum, peneliti, atau kepala sekolah.

Menurut Koordinator El Senior, Education and Employment, Dennis Sinyolo, evaluasi ini penting karena guru adalah profesi. Artinya, tidak semua orang bisa menjadi guru. Seseorang yang ingin menjadi guru harus menjalani pelatihan dan semua guru harus mendapat kesempatan untuk mengembangkan karier profesionalnya.

Sistem pendidikan guru seperti itulah yang sedang dilakukan Indonesia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com