KOMPAS.com - Bimbingan belajar alias bimbel seakan menjadi hal ”wajib”, terutama bagi siswa kelas XII atau kelas III SMA. Benar enggak, sih? Ada siswa yang menjawab perlu banget, tetapi ada juga yang bilang enggak.
Maklum, biaya masuk bimbel tak murah, bisa mencapai jutaan rupiah. Ini artinya sama atau malah lebih mahal dari bayaran uang sekolah di SMA negeri dan swasta kelas menengah selama setahun. Duuuuh….
Bimbel bukan barang baru bagi dunia pendidikan di negara kita. Coba tanyakan soal bimbel kepada tante, om, atau orangtua, pasti minimal mereka pernah mendengarnya.
Sejak sekitar akhir 1970-an, bimbel sudah ada di kota besar seperti Jakarta. Tetapi, waktu itu bimbel sebatas ajang melatih siswa SMA yang akan mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Salah satu bimbel yang dikenal pada zaman itu adalah Siky Mulyono.
Pada 1990-an, keberadaan bimbel semakin menjamur. Sasaran mereka tidak hanya menjaring lulusan SMA yang akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN), tetapi mulai menarik pelajar kelas III SMA guna menyiapkan mereka mengikuti ujian nasional (UN).
Targetnya, peserta lulus UN dengan nilai bagus dan lolos seleksi masuk PTN. Malahan bimbel juga membuka bimbingan bagi siswa kelas X dan kelas XI dengan sasaran agar peserta mendapat nilai ulangan harian bagus dan naik kelas dengan nilai memuaskan.
Kepala Perwakilan Bimbingan & Pemantapan Belajar Quin, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, Eriza Sitohang menyatakan, bimbel sebenarnya hanya memenuhi kebutuhan belajar siswa.
”Kami banyak memberi latihan soal. Sering kali ada soal yang tak ada di sekolah, tetapi kami punya sebab kami memiliki tim penyusun soal sendiri,” tuturnya.
Selain itu, tutor di bimbelnya juga siap membantu siswa yang kesulitan menjawab soal dari guru di sekolah.
Materi pelajaran minim