Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Membeli Kucing dalam Karung

Kompas.com - 11/10/2011, 04:03 WIB

Selayaknya akreditasi perguruan tinggi menjadi acuan utama bagi calon mahasiswa untuk memilih perguruan terbaik yang akan menjadi tempat menuntut ilmu. Namun, tak banyak orang menjadikan akreditasi sebagai pertimbangan utama untuk memilih perguruan tinggi.

etidaktahuan sebagian masyarakat dan ketidakpercayaan akan kredibilitas lembaga bernama Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) diduga menjadi faktor pemicunya.

Ronny (bukan nama sebenarnya) mengaku terkecoh oleh sebuah perguruan tinggi yang konon berafiliasi dengan sebuah universitas di India. Kejadian yang menimpanya bisa menjadi contoh agar masyarakat berhati-hati memilih lembaga pendidikan. Diawali ketidaktahuan tentang akreditasi, pemuda itu mendaftar ke universitas yang berkampus di seputaran Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Sepintas bangunan ”kampus” tampak lumayan. Ada banyak komputer di sana guna mendukung perkuliahan. Ronny yakin bisa mendapat gelar sarjana teknik dari universitas itu. Tanpa ragu, ia membayar Rp 11 juta untuk syarat mengawali kuliah. Tak lama, puluhan mahasiswa, termasuk dia, melihat keanehan. Staf universitas berkurang, bahkan kemudian kampus tutup. ”Saya ingin uang saya kembali. Bagaimana caranya?” tanyanya. Tentu banyak lagi korban seperti Ronny.

Biasanya, pada penerimaan mahasiswa baru, banyak perguruan tinggi swasta memasang iklan hasil akreditasi yang mereka peroleh. Ini jelas memudahkan masyarakat untuk tahu soal akreditasi.

Pembantu Rektor I Bidang Akademisi Universitas Jayabaya, Jakarta, Popon Sjarif Arifin mengatakan, hasil akreditasi menjadi tolok ukur apakah proses pengajaran di universitas sudah sesuai dengan aturan pemerintah atau belum. Dalam bahasa umum, status akreditasi bisa menjadi petunjuk apakah program studi yang ada bagus atau tidak. ”Jika ada program studi mendapat akreditasi C, itu artinya kita harus segera memperbaiki. Yang mendapat nilai B pun terus kita upayakan agar nanti naik peringkat ke A,” katanya.

Untuk memperbaiki kondisi pembelajaran, tak segan ia bersikap keras kepada dosen dan staf lain. Dosen yang tak membuat satuan acara perkuliahan, misalnya, akan mendapat teguran darinya.

”Negosiasi”

Lembaga BAN-PT berperan sentral dalam menentukan hasil akreditasi. Tak mengherankan jika beredar kabar miring yang ditujukan kepadanya. Skor untuk mencapai nilai akreditasi tertentu, misalnya, bisa ”dinegosiasikan”. Sebuah sumber menyatakan, teorinya perguruan tinggi tak diizinkan mengadakan jamuan makan atau membayar biaya transpotasi (pesawat) dan hotel tim penilai (assessor) BAN-PT. ”Itu kan teori, praktiknya beda. Umumnya, minimal mengadakan jamuan makan,” kata sumber tersebut.

Sementara Universitas Jayabaya memilih untuk menolak ikut negosiasi. ”Saya orang yang maunya lurus saja. Saya tentang habis kalau harus ada duitnya. Karena itu, saat assessor mengecek kondisi kampus, saya selalu ada di sana,” ujar Popon. Namun, pihaknya masih memberikan fasilitas menjemput dan mengantar assessor. ”Assessor biasanya bukan orang Jakarta. Daripada bingung cari alamat, kami berikan fasilitas itu,” ujarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com