Perburuan terhadap ilmuwan-ilmuwan muda tersebut sangat agresif. Selain datang ke kampus-kampus di luar negeri dan berburu mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program doktoral, mereka juga datang ke sejumlah lembaga riset di Tanah Air.
Mereka mengetahui, perhatian Pemerintah Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti sangat minim. Selain gaji kecil dan fasilitas penelitian sangat terbatas, peneliti juga sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan yang sudah dilakukan. Mengetahui kelemahan ini, negara lain menawarkan fasilitas yang tidak diberikan oleh Pemerintah Indonesia.
”Perguruan tinggi di Malaysia sempat menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS (sekitar Rp 45 juta) per bulan,” kata Lukijanto, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di Jakarta, Sabtu (22/10). Tawaran itu disampaikan saat Lukijanto akan ujian akhir doktoral di bidang pesisir dan kelautan di Kyushu
Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara mengatakan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset LIPI saat ini sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp 600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri.
Namun, selain gaji, yang sangat didambakan seorang peneliti adalah fasilitas riset yang memadai. ”Fasilitas ini yang sangat kurang di Indonesia,” kata Endang Sukara. Tak heran jika kemudian, pada tahun 1990-1992, ada 177 peneliti LIPI yang pindah ke swasta, instansi lain, dan keluar negeri.
Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang dia dapatkan.
”Selama 2001-2010, paten milik 237 juta penduduk Indonesia hanya 115,” kata Nani Grace Berliana dari Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI.
Perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas dan berprestasi, termasuk ilmuwan dan peneliti, hingga saat ini masih minim. Sejumlah lomba penelitian digelar, tetapi tak jelas kelanjutannya.
Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan sejak 1969, atau 42 tahun lalu, misalnya, hingga saat ini para juaranya tak terlacak keberadaannya. Begitu pula para juara Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang memasuki tahun ke-10 dan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI), yang terakhir dilaksanakan 2009, tidak dipantau perkembangan prestasi para penelitinya. Belum lagi para juara olimpiade internasional.
Memang sejak tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar para juara olimpiade internasional difasilitasi untuk dapat kuliah hingga jenjang doktor.
”Kenyataannya, untuk mendapat beasiswa itu butuh waktu lama dan berbelit-belit sehingga banyak yang mencari beasiswa dari luar negeri,” kata Penasihat Tim Olimpiade Fisika Indonesia Yohanes Surya.
Bukan cuma perhatian yang kurang. Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk kegiatan penelitian juga sangat kecil. Selama 1999-2007, anggaran penelitian hanya sekitar 0,3 persen dari APBN.
Kecilnya anggaran ini menyebabkan dana penelitian harus dibagi-bagi untuk 62.995 orang yang bergerak di bidang penelitian, yakni peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Anggaran yang tidak sebanding menyebabkan penelitian tidak bisa berlanjut. Penelitian harus ditunda beberapa tahun menunggu kucuran dana selanjutnya.
”Berbagai kendala ini, ditambah suasana lembaga penelitian yang tidak kondusif, menyebabkan peneliti-peneliti menerima tawaran dari luar negeri,” kata Fahmi Amhar, profesor Riset Geomatika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan, negara sebenarnya bisa memanfaatkan orang-orang berprestasi tersebut asalkan diberikan kesempatan. Namun, sayangnya, kesempatan itu sangat kecil sehingga mereka memilih mengembangkan kemampuan di luar negeri.
Meski demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa orang-orang berprestasi tersebut kembali ke Indonesia.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso juga tidak keberatan jika siswa-siswa berprestasi di Indonesia memilih bekerja di luar negeri. ”Namun, penerima beasiswa memang seharusnya pulang karena pendidikannya sudah dibiayai oleh pemerintah,” kata Djoko.
Namun, Djoko tidak sependapat jika keterbatasan sarana menjadi alasan kepindahan ke luar negeri. ”Keterbatasan sarana mestinya menjadi tantangan untuk tetap bekerja,” ujarnya.