JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah orangtua siswa SMAN 70 Jakarta mengadukan kekhawatiran mereka kepada Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak di Pasar Rebo, Jakarta, Kamis (27/10/2011), terkait kekerasan yang terjadi di dalam maupun di luar sekolah. Aduan ini dimaksudkan untuk mencari solusi memutus mata rantai kekerasan tersebut.
Dalam pertemuan itu, salah seorang alumni SMAN 70 angkatan 1986 yang tak mau disebut namanya mengungkapkan kegelisahannya. Menurut dia, saat ini kondisi di sekolah RSBI tersebut semakin sangat memprihatinkan. Siswa SMAN 70 saat ini lebih senang mempertahankan citra baik sekolahnya melalui tawuran.
"Saya pernah merasakan sangat tertekan ketika berada di sekolah itu. Dan kini saya khawatir anak saya juga mengalami hal serupa, menjadi korban ataupun menjadi pelaku dari kekerasan di sekolah. Kami ingin perubahan agar SMAN 70 tidak dihancurkan secara sistemik," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, kasus kekerasan di SMAN 70 menjadi sangat memprihatinkan karena pihak sekolah terkesan membiarkan terjadinya tindak kekerasan tersebut.
"Kita harus memutus mata rantai kekerasan ini, guru dan kepala sekolah punya kontribusi karena membiarkan kekerasan itu terjadi," ujarnya.
Ia menambahkan, orangtua kemudian menjadi khawatir karena anak-anak mereka terancam menjadi korban dan bisa menjadi pelaku dari kekerasan itu. Menurut catatannya, tindak kekerasan umumnya terjadi ketika jam pulang sekolah. Para siswa (junior) kemudian diajak oleh kakak kelasnya untuk berkumpul di suatu tempat di luar arena sekolah.
"Di dalam sekolah kekerasan terjadi di toilet, di kantin, yang seharusnya tidak terjadi jika pihak sekolah sigap bertindak," tuturnya.
Ia mengimbau agar seluruh pihak terkait, baik itu Kepala Sekolah beserta jajarannya, Komite Sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sampai kepada aparat kepolisian untuk segera melakukan rekonsiliasi secara bersama mencari solusi dari permasalahan yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu.
"Mata rantai ini harus dihentikan karena bersifat nasional dan terkesan ada pembiaran. Kemdikbud dan Polda harus bertanggungjawab," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.