Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertahan di Tengah Banyak Keterbatasan

Kompas.com - 29/10/2011, 04:19 WIB

Oleh Brigitta Isworo Laksmi

Menjadi peneliti di lembaga penelitian di Indonesia, berat. Setelah lolos ujian administrasi dan wawancara, para pemikir dengan potensi besar itu menghadapi ujian sebenarnya: bertahan meneliti di tengah berbagai keterbatasan, mulai dari alat meneliti, pemanfaatan hasil, hingga kesejahteraan. 

Beberapa peneliti muda yang ditemui Kompas di TU Delft, Belanda, pertengahan Juni lalu, menunjukkan itu. Mereka sedang mengambil gelar master atau doktor di berbagai bidang.

Menurut Muhammad, peneliti kelautan pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, betapa data hasil penelitian arus laut Indonesia yang susah payah dihasilkan seniornya, suatu kali —oleh sebuah lembaga penelitian non-kementerian (LPNK)—justru diberikan kepada sebuah perusahaan asing untuk diuji coba. Ironisnya, LPNK itu justru membeli alat dari perusahaan itu.

”Padahal, sudah ada alat yang diteliti sampai tingkat prototipe dan nyaris 100 persen murni buatan orang Indonesia,” ujarnya.

Ia mengangankan adanya sebuah peta energi terbarukan bahari (marine renewable energy) untuk Indonesia, ”Supaya kalau kami mau membuat sesuatu, kami tahu petanya dan tahu kendalanya sehingga bisa bergerak,” ujar Muhammad. Lalu, ia pun mulai ”memunguti” data yang tersebar di berbagai lembaga, mulai PT PLN hingga yang dikumpulkan seniornya. Bahkan, ada data yang diambil dari tempat sama untuk jenis penelitian yang sama, tetapi dilakukan dua orang dengan beda metodologi. ”Alangkah elok kalau ada riset bersama. Lebih efisien,” ujarnya.

Lemahnya koordinasi penelitian di Indonesia sudah isu lama. Dan, hingga kini tak terpecahkan. Secara kelembagaan saja, ada 474 lembaga riset yang tak saling berkoordinasi.

Mimpi koordinasi antarpeneliti dan penelitian itu juga disampaikan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan A Iskandar. Suatu prioritas penelitian mesti ada tindak lanjut koordinasi di satu kementerian. Selanjutnya, penelitian bisa didistribusikan ke berbagai instansi dan sistem anggarannya terkonsolidasi.

Muhammad menemukan sejumlah fakta. Pertama, berbagai penelitian terkait energi terbarukan kelautan ternyata dilakukan parsial oleh berbagai instansi. Fakta lain, dalam kelompok kerja energi kelautan yang diikutinya pernah dibuat matriks tentang siapa (baca: institusi mana) melakukan apa dan apa targetnya. Namun, ia tak menemukan target akhir, seperti harapan, yaitu pemetaan potensi energi terbarukan kelautan. Padahal, cukup banyak data dari berbagai penelitian yang semuanya ada di Dewan Energi Nasional.

Banyak contoh bagaimana penelitian yang baik tak berujung pada aplikasi. Apalagi apabila melibatkan dua instansi di dua kementerian.

Contohnya, papan bambu buatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslitbang LIPI) tahun 2001. Hasil penelitian dikirim ke Belanda untuk dinding kanal. Di Indonesia, riset itu tidak berlanjut setelah diteruskan ke lembaga riset di bawah Departemen Pekerjaan Umum saat itu. ”Itu hanya salah satu contoh saja,” kata Kepala Puslitbang Biomaterial LIPI Suprapedi.

Kemampuan peneliti

Soal kemampuan peneliti Indonesia, sulit meragukannya. Di Jepang, hampir pada setiap seminar ilmiah teknologi, ada pembicara peneliti Indonesia yang sedang belajar di sana.

Mereka berkibar di tengah iklim penelitian yang sangat mendukung. Mulai dari penelitian naniomaterial, cuaca dan iklim, hingga mikrobiologi. Jepang sadar betul potensi peneliti-peneliti Indonesia.

Banyak peneliti Indonesia dibiayai, difasilitasi, dan didorong menemukan inovasi. Namun, paten penelitiannya pada Pemerintah Jepang.

Menurut Muhammad, banyak keunggulan peneliti muda Indonesia dibandingkan dengan peneliti dari negara sejahtera lainnya. ”Mereka berpikirnya linier karena kadang mereka tidak tahu kesulitan kita mengembangkan teknologi. Anak Indonesia yang melalui seleksi itu berkualitas. Idenya banyak. Sayang kalau sampai saat pulang tidak ada tempatnya. Di Indonesia kadang ribet, ada ”goreng-gorengannya” yang tidak terkait masalah kemampuan, tetapi soal kedekatan,” kata dia.

Beberapa peneliti muda di Delft memelesetkan program riset unggulan terpadu (RUT) menjadi ”riset untuk teman”. Artinya, cara untuk bagi-bagi rezeki. Jenis riset bisa diakali. Hasilnya pun, menurut mereka, bisa direkayasa.

Para peneliti, umumnya resah dengan kondisi penelitian di Tanah Air saat ini. Apabila berlarut-larut, kondisi itu akan memengaruhi semangat para peneliti muda yang sedang merintis karier dan cita-cita.

Bermodal stempel

Wajah penelitian di Indonesia juga dapat dilihat dari ”tugas dan kewajiban” peneliti. Mereka, dalam praktiknya, sekaligus administrator.

”Yang mengurusi lebih banyak dari yang diurusi. Sementara, kami harus mengurus semua sendiri. Kalau disuruh buat laporan, kami kadang kesulitan karena kuitansi kadang tidak ada, misalnya untuk fotokopi. Jadi, peneliti itu modalnya kuitansi, meterai, dan stempel. Ibaratnya, kami buka laci, maka stempel keluar semua. Soalnya, kalau tidak ada capnya, tidak dipercaya,” kata Muhammad.

Dana untuk RUT sekitar Rp 50 juta, jika profesor bisa Rp 200 juta. Hal yang dirasakan menghambat adalah mata anggaran yang kaku dari Kementerian Keuangan dan Bappenas. Perjalanan dinas harus jelas ke mana, dan dengan siapa saat perencanaan. Apabila batal, unjuk kerja dinilai buruk.

”Manajemen riset disamakan manajemen proyek. Padahal, banyak faktor yang variabelnya nonlinier, tidak bisa diprediksi,” ujar para peneliti muda. Akhirnya, lanjut Muhammad, laporan dibuat dengan melihat buku saja. ”Kalau kurvanya seperti ini, ya begini saja,” kata dia. Argumentasi itu bisa ”cerita kancil” atau ”basa basi”.

Di Delft ada sekitar 100 peneliti dengan administrator hanya lima orang. Didik Fauzi Dakhlan dari puslitbang PT PLN (Persero) Java Bali Transmission and Load Dispatch Center, Jakarta, mengatakan, perbandingan teknisi, orang mesin, dan administrasi di kantornya 80 : 80 : 80. Ironisnya, indeks performa kinerja peneliti lebih rendah daripada petugas administrasi.

Di Indonesia, tangan peneliti ikut kotor karena juga berperan sebagai bendahara, jadi sekretaris juga. ”Di sini (Delft) ada sekretaris dan yang memikirkan manajemen penelitian,” kata mereka. ”Kalau punya niat jelek, di Indonesia mudah untuk korupsi. Terserah mengelolanya seperti apa, yang penting beres,” ujar Muhammad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com