Jakarta, Kompas -
”Penundaan bantuan itu dibicarakan dulu di AS. Setelah tahun ini, baru dapat kerja sama lagi,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo di Jakarta, Jumat (4/11). Kapal riset berteknologi tinggi itu untuk meneliti sumber daya dan dasar laut dalam.
”Kini, kami sedang menjajaki kerja sama dengan negara lain untuk mengatasi penundaan bantuan AS itu,” ujar Cicip. Negara lain itu adalah Jerman.
Menurut Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Endhay Kusnendar, kapal riset itu, Okeanos Explorer, milik Badan Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA). Rencananya, akan melanjutkan penelitian ke perairan Halmahera, Maluku Utara.
Okeanos Explorer berperan besar dalam Indonesia Exploration Sangihe Talaud (Index Satal) 2010, Juni-Agustus 2010. Index Satal 2010 mencakup beberapa aspek penelitian dan pemanfaatan teknologi bidang biologi kelautan, geologi, oseanografi, teknologi eksplorasi laut dalam, dan teknologi informasi kelautan.
Beberapa hasil kerja sama riset ekspedisi itu, di antaranya, pemetaan biota, pemetaan fenomena geologi di daerah survei, dan penemuan gunung bawah laut. Kapal Okeanos Explorer mengusung teknologi robot bawah laut Remotely Operated Vehicle (ROV) yang mampu menyelam dan menayangkan video berkualitas definisi tinggi dari kedalaman 6.500 meter, secara langsung.
”Secara materi, Indonesia tidak dirugikan. Namun, dari sisi informasi dan penelitian, kita kehilangan kesempatan memperoleh data lengkap laut dalam kita,” kata Endhay.
Pada ekspedisi riset laut dalam, Indonesia mengirim kapal riset Baruna Jaya IV yang mampu memetakan topografi dasar laut hingga kedalaman 2.500 meter dan mampu mengambil sampel biota (ikan, udang, kerang) hingga sedalam 1.000 meter.
Penelitian biologi dan gunung api bawah laut berhasil dilakukan. Hanya saja, belum mengeksplorasi kandungan mineral/bahan tambang bawah laut.