Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penurunan IPM Dipengaruhi Kesenjangan Riset

Kompas.com - 07/11/2011, 22:43 WIB
Nasrullah Nara

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Penurunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2011 tak lepas dari kesenjangan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi dengan dinamika di masyarakat.

"Hasil-hasil penelitian menumpuk dan mubazir di kampus tanpa sepenuhnya bisa diaplikasikan pada kehidupan masyarakat, karena lemahnya kebijakan pemerintah dan sarana pendukung," tutur Rektor Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Agus Priyono, Senin (7/11/2011) di Jakarta.

Pandangan tersebut, menurut Agus, peringkat IPM Indonesia yang tahun 2011 ini melorot ke posisi 124 dari 187 negara di dunia. Tahun 2010, posisi Indonesia di urutan ke-108 dari 169 negara.

Program Pembangunan PBB (UNDP) memeringkatkan negar-negara berdasarkan indikator sektor pendidikan, usai harapan hidup (kesehatan), dan pendapatan perkapita warga negara. Khusus indikator sektor pendidikan, UNDP antara lain mengukur lama bersekolah, termasuk jenjang pendidikan, akses pendidikan, dan keaksaraan.

"Masalahnya tentu kompleks. Namun, tidak teraplikasinya hasil-hasil riset perguruan tinggi pada kehidupan masyarakat dengan sendirinya membangun antipati masyarakat terhadap dunia pendidikan," katanya.

Pada gilirannya, kata Agus, terbangun persepsi dalam masyarakat untuk tidak perlu menyekolahkan anak sampai ke jenjang perguruan tinggi, karena peran konkret perguruan tinggi termasuk riset tidak dirasakan oleh masyarakat. Belum lagi, jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi terus meningkat.

Agus menilai, tidak ada alasan bagi warga negara untuk tidak mengakses pendidikan, mengingat layanan pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi makin terbuka lebar, baik yang dikelola oleh negeri maupun swasta.

Faktor biaya juga tak bisa disebut kendala, karena pilihan dan akses pendidikan pun kian terbuka lebar. Sebagai contoh, penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri pun saat ini sudah menyerupai perguruan tinggi swasta dengan memberi kesempatan lulusan SMA mengikuti seleksi pada bebarapa kali gelombang.

"Tak ada masalah dengan akses. Yang masalah adalah persepsi keliru dalam masyarakat bahwa untuk apa anak sekolah tinggi-tinggi jika lulus kelak jadi penganggur. Buat apa banyak perguruan tinggi jika risetnya ternyata teraplikasi pada kehidupan masyarakat," papar Agus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com