”Jika peraturan pemerintah itu disahkan, pemerintah daerah tidak dapat menolak kebijakan pemerintah pusat itu dengan alasan otonomi daerah,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPSDMP dan PMP Kemdikbud) Syawal Gultom, Jumat (11/11), di Jakarta. ”Peraturan pemerintah ini mewajibkan pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah sehingga harus diikuti semua sekolah,” ujarnya.
Kepala Pengembangan Profesi Pendidik BPSDMP dan PMP Unifah Rosyidi menambahkan, kendala pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan bagi guru honorer dan guru swasta adalah adanya otonomi daerah. Dengan otonomi daerah itu, pemerintah pusat tidak mempunyai kewenangan.
”Kemdikbud bisa dengan mudah membuat peraturan, tetapi persoalan guru, misalnya kewenangan mengangkat guru, masih dipegang daerah,” ujarnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo mengingatkan bahwa sebelum peraturan pemerintah tersebut disahkan,
rancangan peraturan pemerintah itu sebaiknya ditinjau ulang. Ini disebabkan isi peraturan pemerintah disinyalir akan berlaku untuk tenaga honorer dan guru honorer di sekolah negeri serta tidak secara spesifik membahas guru honorer di sekolah swasta. Selain itu, tenaga honorer tata usaha di sekolah belum diatur.
Menurut Sulistyo, tidak semua guru dapat diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Meskipun tidak berstatus PNS, pemerintah tetap harus melindungi guru honorer, terutama yang di sekolah swasta. Salah satu caranya, dengan memberikan gaji minimum yang harus dipatuhi penyelenggara pendidikan, dengan subsidi pemerintah.
Standardisasi gaji ini, menurut Syawal, akan menjadi syarat wajib pendirian sekolah swasta. Yayasan atau sekolah swasta harus memberikan gaji di atas upah minimum provinsi (UMP). Dengan adanya aturan ini, sekolah tidak dapat lagi asal-asalan memberikan gaji kepada guru.