Hal itu mengemuka pada diskusi pendidikan ”Tolak Privatisasi, Komersialisasi, dan Diskriminasi Pendidikan” yang diselenggarakan Komite Nasional Pendidikan, Senin (23/11), di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
”Perlu ada gerakan masyarakat yang besar untuk sama-sama menyadari bahwa RUU PT ini akan menjadi bom waktu bagi dunia pendidikan,” kata dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia sekaligus pengurus Paguyuban Pekerja UI, Irwansyah.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengingatkan, isu RUU PT bukan semata-mata masalah pendanaan atau komersialisasi PT. Namun, lebih pada implikasi etisnya, terutama dampaknya pada masyarakat tak mampu.
Apabila RUU PT disahkan, keberpihakan PT kepada masyarakat tak mampu lama-kelamaan bisa pudar.
RUU PT juga seharusnya mengatur berbagai hal yang terjadi dalam keseharian PT, seperti plagiarisme karya ilmiah di PT. ”Hal-hal seperti itu malah tidak diatur dalam RUU PT,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Utut Adianto meminta masyarakat tak berburuk sangka dulu sebab proses penyusunan RUU PT belum tuntas. RUU PT yang akan disahkan pada Desember mendatang kemungkinan tertunda karena butuh masukan.
”Perjalanan masih panjang. Intinya, DPR tetap melihat perlunya aturan hukum yang lebih tinggi dalam bentuk UU sebagai bentuk legal formal tata kelola pendidikan tinggi,” kata dia.
Utut mengaku, DPR sedang menyusun ketentuan untuk memastikan biaya pendidikan tinggi semurah mungkin untuk memastikan akses luas bagi siswa tidak mampu, tetapi punya prestasi akademik bagus.
Poin ini akan dipertegas. Pasalnya, masih banyak PT belum memberi porsi 20 persen kepada mahasiswa tak mampu dari total jumlah mahasiswa baru.
”Belum semua PT memberi 20 persen itu. Kami maunya banyak beasiswa diberikan kepada siswa miskin, tetapi tetap mempertimbangkan kekuatan keuangan negara,” kata Utut.