Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melayu-Tionghoa Bersaudara Tanpa Sekat

Kompas.com - 25/11/2011, 03:27 WIB

Orang darat atau gunung merupakan warga pribumi Bangka. Yang belum beragama Islam disebut orang Lom dan yang sudah menganut Islam disebut Selam. Orang darat masih tersisa di daerah Air Abik, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Mereka disebut suku Mapur. Sementara orang laut bertahan di daerah Kedimpel dan Tanjunggunung, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Mereka adalah komunitas suku Sekak.

”Deskripsi Boggart ini membuktikan adanya kesetaraan Melayu, Tionghoa, dan pribumi di Bangka terjalin sejak ratusan tahun silam,” katanya.

Membaur

Saat ini, populasi warga Tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 30 persen dari total 1,2 juta jiwa penduduk wilayah itu. Mereka menekuni berbagai profesi, seperti pengusaha, petani, nelayan, tukang jahit, serta penjual sayur, ikan, dan buah-buahan. Ada juga guru dan karyawan.

Tempat tinggal mereka pun tidak selalu terkonsentrasi di lokasi tertentu, tetapi cenderung membaur dengan masyarakat dari etnis dan agama lain. Itu sebabnya, pembauran berlangsung alami.

”Sejak kecil, saya sudah bergaul dan bermain bersama anak-anak warga Tionghoa. Kami bersahabat kental sehingga saya dan beberapa teman yang Melayu bisa berbicara bahasa Mandarin dengan lancar. Orangtua kami pun selalu berpesan bahwa kami dengan orang Tionghoa adalah saudara dekat,” kata Sudirman (35), warga Melayu di Pasir Putih, Kecamatan Nangkoi, Kota Pangkal Pinang.

Jika ada warga Tionghoa menggelar hajatan atau dalam kedukaan, tetangganya warga Melayu atau etnis lain selalu dilibatkan. Begitu pula sebaliknya, jika etnis lain melakukan kegiatan serupa, warga Tionghoa pun bahu-membahu untuk memasak, mengurusi tamu, dan lain-lain.

”Eratnya kebersamaan ini membuat hampir tidak ada konflik sosial yang melibatkan etnis di Bangka. Apalagi, pekerjaan yang ditekuni dan jenis rumah yang ditempati pun hampir sama sehingga nyaris terbebas dari kecemburuan sosial,” kata Sudirman.

Saat Imlek atau Lebaran, mereka bersalam-salaman sebab di antara warga Melayu dan Tionghoa sering terjadi perkawinan silang. ”Anak laki-laki saya ada yang kawin dengan perempuan Melayu dan masuk Islam. Tetapi, saat Imlek, dia bersama istri dan mertuanya datang ke rumah memberikan selamat. Saat Lebaran, kami sekeluarga juga mendatangi rumah anak dan besan untuk menyampaikan selamat merayakan Idul Fitri,” ungkap Akik (56), keturunan Tionghoa di kawasan Pasir Putih, Pangkal Pinang.

Kebiasaan bersilaturahim tersebut tidak hanya dilakukan keluarga Akik, bahkan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat di Bangka, baik masyarakat Tionghoa maupun Melayu.

Uskup Pangkal Pinang Mgr Hilarius Moa Nurak SVD juga mengakui, persaudaraan yang terbina melalui perkawinan telah membuat hubungan antara warga Tionghoa, Melayu, dan Islam di Bangka Belitung nyaris tanpa sekat. Beberapa tahun lalu pernah ada pihak yang melakukan provokasi guna membenturkan warga Tionghoa dengan Melayu dan Islam di wilayah itu, tetapi tidak berhasil.

”Harmonisasi seperti ini harus terus terbina dan terpelihara. Namun, para pembuat kebijakan pun perlu mengayomi semua pihak agar kebersamaan yang telah terjalin di tengah masyarakat tidak dihancurkan oleh kepentingan politik sesaat,” ujar Uskup Hilarius menegaskan. (Jannes Eudes Wawa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com