Harga bawang merah yang sebelumnya Rp 6.000- Rp 7.000 per kilogram kini terpuruk menjadi Rp 2.500- Rp 3.400 per kilogram. Harga itu jauh di bawah titik impas, Rp 5.000-Rp 5.500 per kilogram, dan merupakan harga terendah sepanjang satu tahun terakhir.
Menurut para petani, harga anjlok itu terjadi selama sebulan terakhir. Sekitar Juli lalu, harga bawang juga sempat turun pada Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram. Oktober lalu, harga bawang merah sempat naik pada Rp 7.000-Rp 8.000 per kilogram.
Rusdiyanto (30), petani bawang merah di Desa Bulusari, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, mengaku, dengan produktivitas 10 ton per hektar, petani hanya mendapatkan hasil Rp 25 juta-Rp 34 juta. Padahal, biaya yang dibutuhkan dari mulai tanam hingga panen sekitar Rp 50 juta per hektar. ”Biaya terbesar pada pupuk dan pestisida,” katanya.
Dari biaya Rp 25 juta untuk mengolah sawahnya seluas setengah hektar, sekitar Rp 15 juta habis untuk membeli pestisida dan pupuk. Ironisnya, separuh biaya pupuk dan pestisida diperoleh dari berutang pada toko sarana produksi tani sehingga setelah panen harus dibayar. Praktik serupa dilakukan sebagian besar petani bawang merah lainnya di Brebes.
Ketua Kelompok Tani Karya Tani Desa Bulusari Slamet Aminjaya menjelaskan, beban utang yang dialami para petani memaksa mereka segera menjual hasil panen. Meskipun harganya murah, mereka membutuhkan uang untuk membayar utang dan modal tanam berikutnya.
”Biasanya, petani hanya menyisakan sebagian hasil panen untuk konsumsi pribadi dan stok bibit pada musim tanam berikutnya,” paparnya.
Anjloknya harga bawang merah itu dipicu berbagai masalah. Namun, yang paling menonjol adalah masuknya bawang merah impor di pasar lokal. Berdasarkan data Asosiasi Bawang Merah Indonesia, volume bawang impor yang masuk ke Brebes adalah 25-200 ton per hari.