Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negeri Maritim Minim Kapal

Kompas.com - 16/12/2011, 03:09 WIB

Nasrullah Nara

Pidato Wakil Presiden Boediono pada Hari Nusantara, 13 Desember 2011, di Dumai, Riau, kembali menegaskan bahwa laut adalah masa depan Indonesia. Penegasan itu menjadi paradoksal di tengah sulitnya masyarakat kepulauan bepergian antarpulau, termasuk dalam rangka mudik Lebaran dan mudik Natal.

Sudah tak terhitung berapa nyawa warga melayang percuma setiap kali terjadi kecelakaan laut. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, sepanjang tahun 2011 terjadi dua kecelakaan yang merenggut nyawa manusia. Pertama, peristiwa hilangnya Kapal Motor Sudarlia rute Baubau-Kaledupa pada 24 Juni. Kedua, tenggelamnya KMP Windu Karsa rute Bajoe-Kolaka pada 27 Agustus.

Sebanyak 33 penumpang dan awak kapal kayu KM Sudarlia terombang-ambing di lautan selama tujuh hari akibat kerusakan mesin kapal.

Musibah yang menimpa KMP Windu Karsa lebih tragis. Feri tersebut tenggelam di Teluk Bone pada 27 Agustus dengan 13 penumpang tewas dan 23 hilang, termasuk Wakil Bupati Kolaka Utara Suhariah Muin.

Di periaran Merauke, Papua, enam kecelakaan laut terjadi selama tahun 2011. Lima kecelakaan di antaranya menimpa kapal motor dan perahu cepat yang diakibatkan cuaca buruk dan hantaman gelombang laut tinggi. Adapun sebuah kecelakaan tabrakan disebabkan kecerobohan awak kapal.

Apa pun faktornya, setiap terjadi kecelakaan di laut, negara tidak bisa melepas tanggung jawab begitu saja. Bukankah konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan rasa aman dalam melakoni aktivitas sehari-hari?

Mobilitas manusia antardaerah—termasuk antarpulau—merupakan salah satu variabel utama untuk mendinamisasi perekonomian. Tidaklah bermakna hasil bumi, seperti sagu, singkong, dan padi, melimpah di Pulau Buru jika tidak tersedia akses dan sarana transportasi untuk mendistribusikannya ke Kepulauan Aru, Banda,

Tanimbar, dan kepulauan lainnya di Maluku.

Kisah tersendatnya pasokan bahan pokok akibat minimnya kapal juga kerap terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Sulawesi Utara.

Armada

Laut sebagai pemersatu tampaknya memang masih sebatas slogan. Dengan wilayah lautan mencapai 93,5 persen dari total wilayah, konektivitas antarpulau masih menjadi masalah.

Trans Maluku yang diprogramkan sejak tahun 2004 untuk meningkatkan konektivitas antarpulau masih jauh dari realisasi. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Maluku menyebutkan, saat ini ada 19 feri yang beroperasi di wilayah Maluku dengan total 17 pelabuhan penyeberangan. Sementara yang dibutuhkan untuk merealisasikan Trans Maluku adalah 24 feri dengan 40 pelabuhan penyeberangan.

Saat ini ada sembilan kapal perintis yang beroperasi. Sementara untuk memperkuat konektivitas antarpulau dibutuhkan lagi enam kapal tambahan.

Tidak memadainya jumlah feri dan kapal perintis membuat warga di sejumlah pulau harus menunggu berhari-hari untuk keluar-masuk. Begitu pula pengangkutan barang, baik barang-barang kebutuhan pokok maupun hasil bumi.

Mereka yang terimbas kondisi ini adalah masyarakat di kepulauan di Kabupaten Aru, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, dan Maluku Barat Daya. Frekuensi feri singgah hanya satu minggu sekali, sedangkan kapal perintis bisa memakan waktu tiga sampai empat minggu sekali.

Waktu singgah ini kerap lebih lama akibat kondisi gelombang laut yang memaksa kapal memperlambat kecepatannya atau bahkan berhenti berlayar hingga kondisi cuaca membaik.

Terlalu senjangnya waktu singgah sangat merepotkan warga, terutama mereka yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti warga yang sakit dan hendak berobat di rumah sakit di pulau lain. Hal ini diungkapkan Jery (29), warga Larat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Larat adalah pulau kecil di sebelah timur Pulau Yamdena di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dari Larat ke Saumlaki, ibu kota Maluku Tenggara Barat yang berada di Yamdena, dilayani feri yang hanya berlayar seminggu sekali. Menurut Jery, alternatif lain saat feri tidak ada adalah dengan perahu cepat.

Hanya saja, biayanya sangat mahal, sampai Rp 250.000 per orang, tiga kali lipat dari biaya naik feri. Belum lagi risiko kecelakaan di laut akibat diterjang gelombang laut lebih tinggi dibandingkan dengan feri.

Kepala Bidang Perhubungan Laut Dinas Perhubungan Maluku Abraham Nanlohy mengatakan dana yang terbatas di APBD Maluku membuat pemerintah menggantungkan sepenuhnya pengadaan kapal dan pembangunan dermaga untuk mencapai target yang dipatok di Trans Maluku itu kepada pemerintah pusat.

Dana APBD hanya cukup dipakai untuk studi kelayakan dan desain dari dermaga dan pelabuhan. Tahun 2011, misalnya, rencana pengadaan kapal baru di Maluku membidik tiga feri berasal dari dana APBN. Ketiga feri ini adalah KMP TG Madlahar, Bada Leon, dan Masela. Ketiganya belum mulai beroperasi, tetapi rencananya akan dioperasikan di bagian tenggara dan selatan Maluku. Adapun untuk kapal perintis, tidak ada penambahan kapal baru.

Kehadiran kapal PT Pelni sebetulnya solusi. Namun, sejauh ini belum maksimal. Delapan dari sembilan kapal Pelni yang melintas di Maluku hanya berhenti di enam dari 35 pelabuhan di Maluku. Keenam pelabuhan itu adalah Ambon, Banda, Namlea, Tual, Saumlaki, dan Dobo. Lima dari enam pelabuhan yang disinggahi itu adalah ibu kota kabupaten/kota. Adapun jumlah total kabupaten/kota di Maluku ada sebelas.

Wilayah Ende, di NTT, juga hanya disinggahi kapal Pelni (KM Awu) dua pekan sekali. Untuk bepergian, warga tak bisa berharap dari feri karena rutenya hanya Ende-Kupang dan Ende-Waingapu.

Itu pun cuma sekali sepekan. Warga terpaksa bepergian dengan pesawat terbang yang tarifnya selangit saat menjelang Natal.

Galangan kapal

Minimnya infrastruktur pendukung bagi kapal laut berupa galangan kapal pun setali tiga uang. Padahal, galangan kapal penting untuk menjaga kondisi kapal tetap aman berlayar.

Data Kementerian Perhubungan menyebutkan, sekitar 76 persen atau sebanyak 380 kapal di Maluku terpaksa dirawat di Papua dan Sulawesi. Pasalnya, perusahaan galangan kapal di Maluku hanya mampu memperbaiki kapal berbobot di bawah 500 gros ton (GT).

Imbasnya, ongkos yang dikeluarkan pemilik kapal bertambah, ditambah lagi waktu perbaikan menjadi lebih lama. PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Wilayah Ambon, misalnya, harus membawa dua ferinya yang berbobot di atas 1.000 GT ke Bitung, Sulawesi Utara, atau Sorong, Papua Barat, untuk perawatan rutin.

Inilah kisah negeri maritim yang minim kapal. Sampai kapan rakyat berjibaku dengan maut dan menanggung biaya tinggi? Benarkah laut sebagai masa depan negeri ini?

(APA/ENG/ZAL/THT/RWN/SEM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com