Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan Tidak Tuntas Dicegah

Kompas.com - 21/12/2011, 02:47 WIB

Maraknya aksi tawuran pelajar, sebanyak 339 kasus selama tahun 2011 yang mengakibatkan korban jiwa hingga 82 orang, karena pelbagai upaya pencegahan belum didasari penyelesaian dari akar masalah. Dibutuhkan upaya menyeluruh dan berkelanjutan untuk menyelesaikan tawuran.

Kasus yang dipaparkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memberikan gambaran yang mengkhawatirkan. Kasus itu bukan hanya melonjak 260 persen dibandingkan periode sama tahun 2010, melainkan juga kualitas dan korban jiwa yang meninggal akibat tawuran itu naik hingga 100 persen.

Oleh sebab itu, untuk mengatasinya perlu dilakukan upaya yang menyeluruh sejak dari akar masalahnya. Menurut pemerhati pendidikan, Arief Rachman, identifikasi mereka yang kerap kali menjadi pemicu tawuran. Apabila sudah ditemukan, bicarakan dengan orangtuanya.

Pada saat yang bersamaan, orangtua melakukan komunikasi aktif dua arah sehingga mereka bisa mengenali karakter dan aktivitas anak dengan baik. Dengan demikian, langkah pencegahan bisa dilakukan dan anak tidak tergelincir ke arah yang membahayakan.

Di sisi lain, bangun ruang berekspresi agar menurunkan derajat ketegangan di masyarakat. Tempat berkegiatan itu perlu dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan selera masyarakat, terutama kaum muda. Mungkin dunia teknologi informasi, kuliner, dan seni lebih disukai daripada sekadar diajak berkumpul dan berdiskusi.

Berkegiatan positif sesuai dengan minat dan bakat, kata Arief, akan mendorong anak-anak meningkatkan kepercayaan diri. Tawaran solusi ini paling manjur karena pemuda diharapkan bisa menemukan jati dirinya.

Solusi jangka panjang

Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah kajian sosiologi untuk melihat akar masalah tawuran. Sosiolog Musni Umar dalam penelitiannya tentang tawuran di Johar Baru, Jakarta Pusat, merekomendasikan sejumlah langkah jangka pendek dan jangka panjang menyelesaikan tawuran.

Menurut Musni, untuk jangka pendek, dibutuhkan pendidikan karakter di kalangan masyarakat yang kerap tawuran. Setelah itu, masyarakat diberi pelatihan keterampilan dan dipersiapkan menjadi tenaga terampil di bidang yang diminati.

Bagi mereka yang masih berusia sekolah dan ingin terus bersekolah, Musni berpendapat keinginan ini harus difasilitasi. Namun, pendidikan lanjutnya direkomendasikan ke luar dari lingkungan yang kerap memberikan efek buruk bagi pelajar.

Selain itu, organisasi kemasyarakatan di setiap komunitas juga perlu dihidupkan kembali untuk mengurangi kesalahpahaman di antara warga. Yang tidak kalah penting adalah penyediaan ruang publik untuk aktivitas warga.

Jangka panjang, pembangunan rumah susun menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki lingkungan yang kumuh.

Kualitas keluarga

Psikolog Forensik Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Lia Latief berpendapat, anak-anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan sekolah. Tinggi rendahnya frekuensi tawuran antarremaja bergantung pada kualitas keluarga dan sekolah.

”Jika orangtua mendisiplinkan emosi anak-anaknya dan melatih cara marah yang benar, maka ekspresi emosional anak-anak akan lebih terarah. Orangtua salah seorang pasien saya mengajarkan anaknya, kalau dipukul oleh teman di sekolah, balaslah memukul padahal itu tidak tepat. Seharusnya, orangtua melapor kepada guru dan menghormati hukum yang berlaku di sekolah,” tutur Lia.

Lia menilai para siswa yang terlibat tawuran umumnya berprestasi akademik rendah. ”Tawuran kemudian menjadi cara mendapat pengakuan diri di sekolah,” ucap Lia.

Sayangnya, tidak ada cara lain dari para guru untuk mendorong siswa meningkatkan prestasi akademik. Lia mengingatkan pentingnya pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral.

”Guru seharusnya lebih banyak memberi contoh-contoh konkret mengenai tindakan yang tidak berbudi pekerti dan tindakan yang berbudi pekerti. Tindakan yang bermoral dan yang tidak bermoral,” ujar Lia.

Menurut dia, para pengelola sekolah pantas memelihara zona nyaman buat para siswa. Contoh, ketika terjadi tawuran di luar, kepala sekolah misalnya meminta para siswa agar tetap di sekolah dulu sampai suasana reda.

Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia Erna Karim mengatakan, kekerasan terhadap anak atau antaranak bisa terjadi karena adanya faktor ketidaksiapan orang dalam membangun keluarga. ”Tidak semua orang tahu cara menjalankan keluarga, cara mendidik anak, dan menyosialisasikan nilai-nilai baik terhadap anak-anaknya.”

Sering kali, karena tuntutan pekerjaan, orangtua harus sering berpindah kerja atau berpindah rumah sehingga memicu stres bagi anak-anak. Selain itu tuntutan ekonomi membuat anak ditinggalkan dalam jangka waktu lama di bawah asuhan orang lain.

”Belum lagi pengaruh media yang menayangkan kekerasan. Tanpa orangtua yang mendampingi, anak dengan mudah menyerap apa saja yang dilihat atau didengarnya,” kata Erna.

Institusi pendidikan pun turut berperan dalam memunculkan perilaku kekerasan. Padahal, kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid meninggalkan trauma. Untuk mencegah kekerasan terjadi, psikolog anak Seto Mulyadi mendambakan gerakan nasional antikekerasan.

Dalam kaitan tersebut, lanjut Seto, masyarakat perlu dibiasakan hidup tanpa kekerasan dalam kondisi dan hal apa pun.

Namun, Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA, menegaskan, adalah tugas pemerintah menciptakan kestabilan politik dan ekonomi. Tugas aparat menjamin aturan hukum ditegakkan. Dengan demikian, masyarakat dapat hidup dengan aman dan nyaman. ”Dalam kondisi hidup yang baik, kekerasan bisa dicegah,” kata Seto, mantan Ketua Umum Komnas PA.

Pemerintah, masyarakat, dan aparat, kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen Wahyu Djatmika, harus bersinergi untuk mencegah dan mengatasi kekerasan. Media massa diimbau untuk juga mengutamakan tema kekerasan terhadap anak sebagai isu pemberitaan.(BRO/NEL/FRO/WIN/ART)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com