Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya Membangun Sekolah Aman

Kompas.com - 21/12/2011, 08:58 WIB
Luki Aulia

KOMPAS.com - Plafon ruang kelas yang runtuh dan melukai siswa yang sedang belajar akhir-akhir ini sering kita dengar. Plafon runtuh bukan karena dimakan usia, melainkan akibat proses rehabilitasi yang ceroboh. Padahal, biaya rehabilitasi bisa ratusan juta rupiah.

Untuk memastikan agar siswa aman dan tenang belajar, mulai tahun ini pemerintah menerapkan mekanisme swakelola. Rehabilitasi tidak lagi melalui tender dan ditangani pemborong, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dan masyarakat. Mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan ditangani sekolah. Alasannya, sekolah yang paling tahu kebutuhannya.

Bantuan dana rehabilitasi dari pemerintah pusat, baik dari dana alokasi khusus maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, langsung masuk rekening sekolah.

”Setelah menerima dana, kami diskusikan dengan masyarakat melalui komite sekolah dan konsultan bangunan. Dibahas mulai dari bahan yang akan dipakai hingga siapa yang mengerjakan,” kata Engkon, Kepala SMPN 3 Kragilan, Kabupaten Serang, Banten.

Dengan swakelola, seluruh bantuan dana pemerintah digunakan untuk rehabilitasi tanpa terpotong pajak dan keuntungan bisnis pemborong. Anggaran bisa hemat 25-30 persen. Proses pengerjaannya bisa dikontrol dan diawasi sehingga hasilnya sesuai dengan rencana. Tentu saja pengawasan dan pendampingan harus ketat.

”Tim pendamping dan pengawas berasal dari pusat, kabupaten/kota, TNI, perguruan tinggi, dan anggota masyarakat lain. Harapannya, swakelola bisa mencegah penyimpangan,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.

Kualitas bangunan sekolah harus menjadi prioritas meski harus dikerjakan terburu-buru, seperti pada sekolah-sekolah inpres. Kondisi sekolah yang dibangun pada 1970-an itu kini rusak berat. Mulai tahun ini semua direhabilitasi. Tahap pertama dimulai dua bulan lalu dan harus selesai paling lambat Januari atau Februari mendatang.

Kepala SDN Kendayakan, Kecamatan Kragilan, Serang, Rasidi menuturkan, dengan dana Rp 197 juta dari APBN-Perubahan, ia harus menyelesaikan rehabilitasi tiga ruang kelas dan satu toilet dalam tiga bulan. ”Kami ganti atap, kusen jendela, pintu, dan lantai. Kerja lembur sampai malam,” ujarnya.

Tahap pertama rehabilitasi diputuskan pemerintah harus selesai tiga bulan karena masuk dalam APBN-P. Yang direhabilitasi 3.020 sekolah, yaitu 2.419 SD dan 601 SMP. Sebanyak 193 SD (18 persen) dan 43 SMP (50 persen) mulai dibangun.

Sisa sekolah rusak akan direhabilitasi tahun depan dengan APBN 2012. Untuk merehabilitasi ruang kelas rusak berat di pendidikan dasar dibutuhkan anggaran Rp 17,5 triliun ditambah kebutuhan mebel Rp 2,9 triliun.

Fokus rehabilitasi tahun ini di Nusa Tenggara Timur, Lombok Utara, Banten, daerah bencana, Papua dan Papua Barat, serta daerah nelayan miskin. Nuh berharap, urusan sekolah rusak bisa selesai tahun 2012 meski sekolah yang rusak akan selalu ada.

Menurut Nuh, perlu gerakan massal untuk merehabilitasi sekolah. Seperti pembangunan sekolah inpres besar-besaran pada tahun 1970-an.

Kualitas bangunan tentu harus diperhatikan. Apalagi bangunan sekolah kerap menjadi tempat berlindung dan penampungan warga masyarakat pada saat terjadi bencana.

Direktur Penataan Bangunan Cipta Karya Kempu Guratno menilai, kualitas konstruksi bangunan sekolah sering kali buruk, terutama pada struktur dan sambungan kuda-kuda, ring balok tidak tersambung dengan baik, kolom dan fondasi tidak menggunakan pembesian, serta retakan di kolom.

Harus kokoh

Menurut Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Teddy W Sudinda, desain dan konstruksi bangunan sekolah di daerah rawan bencana harus berbeda dan lebih kokoh. Sebelumnya pemerintah harus membuat peta risiko bencana sehingga tergambar lebih jelas lokasi sekolah dan ancaman bencana yang dihadapi.

”Kita bisa tentukan bangunan sekolah seperti apa yang dibutuhkan dan ruangan yang perlu ada. Seperti tempat berlindung saat bencana,” kata Teddy.

Pemerintah memiliki desain gedung sekolah baru. Bentuknya sederhana, minimalis, dan kualitasnya bebas perawatan.

Menurut Nuh, di daerah rawan bencana, konstruksi bangunan harus diperhatikan, misalnya Yogyakarta yang rawan gempa. Namun, belum ada desain sekolah di daerah bencana yang spesifik sesuai karakteristik ancaman bencananya.

Pemerintah hanya mensyaratkan bentuk bangunan dengan banyak bukaan sehingga hemat listrik, ventilasi udara dioptimalkan, serta ada banyak pohon di sekitarnya sehingga suhu ruang kelas sejuk. ”Di setiap kelas juga harus ada sudut untuk membaca,” kata Nuh.

Desain pemerintah ternyata tak digunakan oleh sekolah-sekolah yang sedang direhabilitasi. Seperti di SDN Banyongbong, Kecamatan Pontang, Serang. Alasannya, desain dari pemerintah tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah yang panas dan berdebu pekat.

”Desain itu memang sifatnya tawaran, untuk disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing,” kata Nuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com