Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terjal di Negeri Sendiri

Kompas.com - 04/01/2012, 09:15 WIB

Ester Lince Napitupulu

KOMPAS.com - Siswa yang berhasil mengukir prestasi bagi negeri ini sebaiknya tidak berharap banyak untuk mendapat imbal balik. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bukannya karpet merah, melainkan jalan terjal yang harus dihadapi.

Pengalaman itu yang dihadapi sejumlah anak bangsa yang telah mempersembahkan medali bagi Indonesia dalam berbagai ajang olimpiade sains internasional (OSI). Mereka tertolak di negeri sendiri, sebaliknya justru gencar diburu oleh negara-negara lain.

Contoh tragisnya adalah Marsha Christanvia Wibowo (18), peraih medali perak di Olimpiade Biologi Internasional pada Juli 2011. Ia bersikeras untuk memburu perguruan tinggi negeri (PTN) dalam negeri karena ingin menjadi dokter. Tetapi, dia tak lolos seleksi nasional masuk PTN (SNMPTN) lewat jalur undangan bagi siswa berprestasi.

”Aplikasi online saya tidak bisa diproses karena saya memilih jurusan kedokteran di Universitas Indonesia. Ternyata juara olimpiade hanya bisa masuk tanpa tes kalau sesuai prestasi olimpiade yang diikuti, kalau saya Biologi. Tetapi, saya mau jadi dokter dan kuliah di PTN,” kata Marsha, alumnus SMAK 1 BPK Penabur Jakarta, yang terpaksa menunda kuliah tahun ini.

Cerita pahit memburu tempat kuliah di dalam negeri juga dialami Muhammad Firmansyah Kasim (20) ketika lulus SMA tahun 2009. Dia tetap harus masuk lewat jalur tes. Padahal, alumnus SMA Athirah Makassar itu sudah menolak tawaran masuk tanpa tes dan beasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Singapura yang menemuinya di Makassar.

Undangan beasiswa peraih medali OSI yang dilayangkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) kepada Firman saat itu juga tak ada kabar beritanya. Padahal, sesuai instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal penghargaan kepada peraih medali OSI, Firman berhak mendapat beasiswa kuliah dari pemerintah hingga jenjang S-3. Peraih medali perak dibiayai hingga jenjang S-2, sedangkan medali perunggu hingga jenjang S-1.

”Ya sudah, saya berjuang sendiri untuk bisa tembus ke ITB. Saya ikut seleksi masuk ITB yang terbuka untuk umum,” kata peraih medali emas bidang fisika dalam Olimpiade Sains Internasional 2007 di Iran itu.

Firman harus membayar uang masuk ITB senilai Rp 25 juta. Untuk itu, bungsu dari empat bersaudara ini harus membobol tabungan dari hasil meraih prestasi di olimpiade sejak SMP hingga SMA.

Tawaran luar negeri

Bagi Marsha, impian yang kandas untuk menimba ilmu kedokteran di negeri sendiri membuat dia berpaling pada tawaran dari Singapura. ”Saya tidak mau lagi kuliah di dalam negeri. Saya pikir, prestasi yang saya perjuangkan dengan gigih bisa memudahkan saya kuliah kedokteran di PTN, ternyata tidak terjadi,” kata bungsu dari dua bersaudara ini.

Meski sudah ada jaminan kuliah di Singapura, Marsha masih ingin mencoba tes masuk ke Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat. Di kampus itu tersedia banyak beasiswa tanpa ikatan.

Firman yang IPK-nya 3,78 di ITB sempat menyesali pilihannya untuk kuliah S-1 di dalam negeri. Sebelum lulus dari SMA, dia sudah mendapat tawaran kuliah bebas tes dan mendapat beasiswa dari National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU).

Akhirnya Firman memang mendapat kucuran beasiswa dari pemerintah mulai tahun 2010. Namun, uang Rp 25 juta untuk masuk ITB tetap tak kembali.

”Untuk jenjang S-2 saya mau kuliah di Amerika Serikat atau Jepang supaya ada pengalaman baru. Saya mau cari beasiswa luar negeri saja supaya lebih pasti,” kata Firman.

Firman mengutip nasihat temannya, peraih medali olimpiade fisika yang mempertahankan beasiswa yang diterima di MIT Amerika Serikat. ”Kata dia, kalau terima beasiswa pemerintah ribet, lebih baik terima beasiswa luar negeri saja, lebih lancar dan terjamin,” ujarnya.

Nursyamsuddin dari Humas SMAN 78 Jakarta mengatakan, banyak peraih medali OSI di sekolah itu yang memilih ”pinangan” perguruan tinggi luar negeri, terutama Singapura.

Dalam data penerima beasiswa OSI Kemdikbud tahun 2009-2011 tercatat, 36 orang kuliah di luar negeri, khususnya Singapura, dan 33 anak lain di dalam negeri.

Di dalam negeri, pilihan jurusan untuk masuk PTN tanpa tes dibatasi sesuai bidang olimpiade yang dimenangi. Selain itu, tak ada juga jaminan beasiswa yang pasti sejak awal.

Bagi sebagian besar peraih medali olimpiade, tawaran dari luar negeri dianggap lebih memberikan kepastian. Anugerah Erlaut, peraih medali perak dan emas dari Olimpiade Biologi Internasional, memilih tawaran kuliah dan beasiswa di NTU dengan ikatan kerja tiga tahun di Singapura pada tahun 2009.

Beberapa bulan setelah kuliah, baru datang tawaran beasiswa dari Pemerintah Indonesia. ”Karena tidak ada ikatan dinas, saya melepas beasiswa Singapura. Kerugian karena memutuskan penerimaan beasiswa diganti pemerintah,” katanya.

Menurut Anugerah, mendaftar beasiswa di NTU sangat mudah karena proses aplikasinya lewat aplikasi universitas. Di Singapura, lembaga pemberi beasiswa bekerja sama dengan universitas.

Sesuai potensi

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Kadarsah mengatakan, pembatasan pilihan jurusan yang sesuai dengan olimpiade yang dimenangi karena perguruan tinggi menilai anak terkait punya potensi besar di bidang itu. ”Jika kuliah di bidang ilmu yang dikuasai, potensinya akan lebih berkembang,” kata Kadarsah.

Perguruan tinggi luar negeri memandang anak-anak yang berprestasi di bidang sains ”unik” dan berpotensi sukses sebagai ilmuwan yang dibutuhkan dunia di masa depan. Sebaliknya, di Indonesia, prestasi di bidang sains tak dipandang sebagai jalan mewujudkan bangsa Indonesia yang maju dengan sumber daya manusia yang unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Satijan, Kepala SMAK 1 BPK Penabur Jakarta, mengatakan, perguruan tinggi luar negeri lebih melihat anak-anak yang berprestasi ini mempunyai potensi luar biasa, daya juang, dan berpikir logis. ”Perguruan tinggi luar negeri tidak sekaku pemerintah dan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka seperti diberi peluang untuk memilih jurusan yang sesuai minat karena yakin anak-anak itu tetap mampu menunjukkan prestasi gemilang,” kata Satijan memaparkan.

Pengorbanan

Meraih prestasi di OSI bukan hal mudah dan meminta banyak pengorbanan. Marsha sempat gamang ketika terpilih mewakili Indonesia. Sebab, dia mesti fokus pada pelatihan, sedangkan saat itu Marsha duduk di kelas XII SMA yang juga mesti berkonsentrasi pada persiapan ujian nasional dan berburu tempat kuliah.

”Saya akhirnya memilih fokus pada olimpiade. Soalnya ada janji pemerintah kalau peraih medali bakal dipermudah mendapat tempat kuliah. Tetapi kenyataannya tetap sulit. Saya kecewa sekali,” kata Marsha.

Demikian pula Firman yang mengukir prestasi di olimpiade sains sejak SMP. Firman yang meraih medali emas di International Junior Science Olympiad dipilih Yohanes Surya untuk bergabung dengan Tim Olimpiade Fisika Indonesia.

Firman pun terpaksa lebih sering di Jakarta dan meninggalkan sekolahnya. Hari-harinya dihabiskan untuk berkutat dengan soal teori dan eksperimen fisika yang levelnya untuk doktor. Sesekali, Firman kembali ke Makassar untuk menjalani ujian sekolah dan nasional.

Suharlan, Koordinator Olimpiade SMA di Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kemdikbud, mengatakan, tidak semua juara OSI mendapat beasiswa. Beasiswa hanya diberikan kepada OSI yang diakui Kemdikbud. Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 62 Tahun 2009 tentang Pemberian Beasiswa kepada Peserta Didik Jenjang Pendidikan Menengah dan Tinggi Peraih Medali OSI.

Penyebabnya, untuk bisa mewakili Indonesia di ajang olimpiade, peserta harus ikut seleksi berjenjang, mulai dari tingkat sekolah, provinsi, nasional, hingga masuk dalam seleksi untuk ke olimpiade internasional. Olimpiade sains di jenjang pendidikan menengah yang diakui pemerintah adalah Olimpiade Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Informatika, Astronomi, dan Kebumian.

Peraih medali olimpiade yang bisa masuk tanpa tes ke PTN dan mendapat beasiswa pemerintah haruslah direkomendasikan Kemdikbud. Penerima beasiswa mendapatkan bantuan biaya sekolah, biaya buku, serta biaya hidup sesuai perguruan tinggi dan negara yang dipilih.

Dedi S Gumilar, anggota Komisi X DPR, mengkritik pemerintah yang tidak memiliki sistem pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia untuk mengakomodasi anak- anak cerdas dan berbakat.

Menurut Dedi, pemerintah tak cukup memberikan program beasiswa pendidikan. Pemerintah harus memiliki konsep dan desain untuk mengoptimalkan anak-anak cerdas dan berbakat untuk masa depan bangsa.

Ilmuwan Yohanes Surya mengingatkan pemerintah dan perguruan tinggi dalam negeri agar serius menghargai anak- anak bangsa yang berprestasi, seperti yang dilakukan Pemerintah China.

Menurut fisikawan dan pendiri Surya Institute ini, pemerintah harus memiliki tujuan yang jelas dalam mengasah anak-anak cerdas. Dengan demikian, Indonesia dapat menyiapkan ilmuwan di bidang sains dan sosial berkualitas dan berdaya saing di tingkat internasional untuk membangun Indonesia.

Yohanes mencontohkan, China memiliki program terencana untuk mengembangkan anak-anak cerdas sejak SD hingga dikuliahkan ke luar negeri. Anak-anak itu kembali membangun China karena pemerintah menyiapkan karier sesuai kebutuhan pembangunan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com