Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UN, PTN, dan Otonomi Daerah

Kompas.com - 21/01/2012, 02:49 WIB

Sebagian daerah malah menyiasatinya dengan menggunakan pendanaan APBD untuk bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar tertentu demi sukses UN. Saat hari-H UN digelar, para mentor bimbingan belajar itu disinyalir berubah fungsi menjadi pemasok kunci jawaban UN untuk para siswa.

Kecurangan UN pun menghasilkan mata rantai setan. Ia tidak hanya menjadi kebutuhan siswa agar bisa lulus UN, tetapi juga dimaklumi oleh orangtua siswa atas nama gengsi dan martabat. Bagi pihak sekolah, UN bukan sekadar alat ukur prestasi, melainkan juga prestise. Lebih jauh, karier kepala sekolah salah satunya ditentukan oleh berapa persen siswa yang lulus UN.

Rendahnya tingkat kelulusan UN juga menjadi pukulan bagi karier kepala dinas pendidikan di daerah tersebut. Bahkan, seorang kepala daerah pun bisa merasa amat dipermalukan apbila di daerahnya banyak yang tidak lulus UN. Ia akan merasa gagal mengurusi bidang pendidikan.

Jika ini terus dibiarkan, alih-alih kita hendak mencerdaskan bangsa, yang terjadi justru menyuburkan benih generasi bangsa yang bermental curang dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Itu semua kita lakukan karena kita menabrak hakikat bahwa kita nyatanya berbeda. Maka, seharusnya standardisasi dibuat menurut perbedaan itu, bukan semua dipaksakan jadi sama.

Usulan syarat masuk

Jika UN hadir dengan wajah compang-camping, bahkan menjadi wujud pengingkaran kehendak berbangsa kita, amatlah wajar jika ide Mendikbud Mohammad Nuh untuk menggunakan UN sebagai syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) ditentang banyak pihak, bahkan juga kalangan PTN.

UN yang membuka pintu kecurangan amat mungkin meloloskan orang-orang yang tak berkualifikasi masuk ke PTN. Pada masa lalu, penerimaan mahasiswa PTN non-tes melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) dapat dimanfaatkan oknum-oknum tak bertanggung jawab dengan memanipulasi nilai siswa karena nilai rapor

menjadi syarat masuk PTN lewat jalur ini. Hasilnya banyak siswa hasil PMDK kesulitan bersaing di bangku kuliah. Oleh karena itu, pola penerimaan mahasiswa berbasis prestasi diubah, dilakukan melalui tes kendati dipisahkan dengan tes penerimaan pada umumnya.

Jika pemerintah pusat berniat memberikan ruang bagi setiap anak bangsa masuk PTN, caranya bukan dengan menjadikan UN sebagai syarat masuk PTN. Pekerjaan rumah pemerintah untuk menghadirkan PTN sebagai rumah bagi generasi bangsa yang cerdas kendati lemah secara ekonomi adalah tantangan besar saat ini.

PTN-PTN hari ini menjelma menjadi korporasi pendidikan tinggi yang justru menargetkan pendapatan tertentu, bahkan profit, dalam pengelolaan perguruan tinggi. Caranya, dengan mematok persentase tertentu bagi jalur penerimaan mahasiswa, mulai dari nilai masuk sampai dengan biaya pembangunan yang harganya terus melambung. Celakanya, jalur semacam ini sekarang tampaknya mendominasi cara masuk ke PTN sehingga PTN tak lagi ramah bagi kalangan yang tak berpunya.

Jika demikian realitasnya, UN jelas bukan terapi terhadap sulitnya orang miskin untuk kuliah di PTN. Jalan satu-satunya untuk mengembalikan PTN sebagai rumah kaum cerdas Indonesia adalah dengan membangun seleksi masuk ke PTN yang berbasis kompetensi, bukan materi.

Negara yang telah diamanahkan konstitusi untuk mengalokasikan 20 persen dana APBN dan APBD untuk pendidikan mestinya menginsafi ini.

Rifqinizamy Karsayuda Pengajar Hukum Tata Negara FH Unlam, Banjarmasin; Mahasiswa Program Doktor Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com