Dalam UUD 1945, pendidikan nasional mendapatkan perhatian, baik kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, yaitu ”mencerdaskan bangsa” tertera dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan secara kuantitatif menyangkut ”semua warga negara memperoleh pendidikan” tertera dalam Pasal 31 Ayat 1.
Hingga era reformasi bangsa Indonesia menyadari, secara kualitatif dan kuantitatif negara tidak bisa memenuhi amanat UUD. Oleh karena itu, ketika kesempatan amandemen UUD 1945 terbuka, maka Pasal 31 mengalami perubahan besar.
Ayat (2) yang sama sekali baru dimunculkan: ”Semua warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Juga Ayat (4): ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Ayat (2) dan Ayat (4) ini memperjelas kewajiban pemerintah tentang anggaran pendidikan. Kewajiban itu bahkan diperjelas oleh Pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bahwa anggaran 20 persen tersebut di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan.
UU APBN 2004 dan 2005 tidak memenuhi UUD Pasal 31 Ayat (4) dan Pasal 49 UU Sisdiknas. Terpilihnya SBY-JK menumbuhkan harapan baru. Tetapi dalam UU APBN 2006 anggaran pendidikan juga tidak mencapai 20 persen.
Oleh karena itu, sekelompok orang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi bahwa APBN—khusus anggaran pendidikan—tidak sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31. Tuntutan ini diterima oleh MK, tetapi pemerintah mengabaikan putusan tersebut. Begitu pun terhadap UU APBN 2007 dan 2008, berturut-turut uji materi diajukan dan diterima oleh MK.