Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat bagi Sastra Sunda

Kompas.com - 13/02/2012, 02:28 WIB

CORNELIUS HELMYHERLAMBANG

Dering telepon milik Etti Rochaeti Soetisna nyaris tidak kenal waktu saat tiba ujian akhir Bahasa Sunda di berbagai tingkatan sekolah. Banyak rekan sesama sastrawan, rekan kerja, hingga wartawan sekalipun membangunkan tidurnya. Etti seperti menjadi tumpuan mereka untuk bertanya tentang berbagai hal mengenai materi pelajaran Bahasa Sunda.

Mereka bertanya di antaranya untuk minta mengartikan bahasa Sunda, mencari padanan istilah bahasa Sunda, hingga membuat pantun Sunda. Semua selalu saya jawab meski kadang jawabannya tidak selalu memuaskan,” kata Etti soal banyak orang yang menghubunginya itu.

Meskipun kadang kala telepon-telepon itu terasa merepotkan, Etti tidak merasa dirugikan menjadi kamus sastra Sunda bagi banyak kalangan. Ia berpendapat, semua itu menunjukkan masih banyak kalangan yang peduli dengan bahasa Sunda meski sering kali dianggap bukan pelajaran utama di sekolah. Namun, itu juga menjadi bukti pendidikan bahasa Sunda masih perlu pendampingan dan perbaikan. ”Bahkan untuk orang Sunda sendiri,” ujarnya.

Kreatif

Bila saja Etti tidak terlambat mendaftarkan diri di Jurusan Bahasa Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Bandung (IKIP)—kini Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)—31 tahun lalu, mungkin ia tidak akan sedekat ini dengan sastra Sunda. Dulu ia lebih suka menekuni Bahasa Inggris, pelajaran kesukaannya saat menempuh pendidikan di sekolah pendidikan guru (SPG).

Seorang petugas menyarankan agar Etti mendaftar di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, yang kebetulan masih menerima mahasiswa baru. Ada tiga jurusan di Fakultas Sastra Unpad, yaitu Arab, Indonesia, dan Sunda.

”Saya pilih bahasa Sunda karena unik dan sepertinya menantang dibandingkan dengan dua pilihan lainnya. Lagi pula, saya merasa lebih dekat dengan bahasa Sunda,” katanya.

Sejak kecil, Etti sejatinya sudah terbiasa dengan sastra dan seni Sunda. Ayahnya selalu menyanyikan kawih sebagai pengantar tidur. Kegemaran ibunya membaca komik pewayangan Sunda hasil pinjaman dari perpustakaan umum tertular kepadanya. Saat menempuh pendidikan di sekolah pendidikan guru, ia juga kerap menulis cerita pendek berbahasa Sunda di harian umum Pikiran Rakyat.

”Saya masih ingat cerpen pertama yang dimuat di koran. Judulnya, Peuting nu Simpe (Malam yang Sunyi),” kata Etti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com