Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Subspesialis Tetap Nonformal

Kompas.com - 15/02/2012, 02:44 WIB

Jakarta, Kompas - Pendidikan kedokteran subspesialis merupakan pendalaman pendidikan spesialis, bukan pencabangan ilmu baru. Karena itu, pendidikannya cukup dilakukan secara nonformal yang diampu oleh masing-masing kolegium spesialis terkait, seperti yang sudah dilakukan selama ini.

Hal itu dikatakan Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia Errol U Hutagalung saat dihubungi di Jakarta, Selasa (14/2). Karena pendidikan subspesialis bersifat nonformal, peserta pendidikan tak dapat ijazah, hanya sertifikat kompetensi dari masing-masing kolegium spesialis terkait. ”Sertifikat kompetensi itu merupakan dasar legal bagi dokter subspesialis atau konsultan untuk melakukan layanan kesehatan subspesialis,” katanya.

Surat tanda registrasi (STR) dokter subspesialis adalah STR dokter spesialis. Ini berarti dokter subspesialis yang seharusnya bekerja untuk layanan kesehatan tersier tetap dapat melakukan layanan kesehatan sekunder yang ditangani dokter spesialis. Kondisi ini justru membuat gerak dokter subspesialis menjadi lebih luas.

Errol mengakui, kebutuhan layanan subspesialis memang ada. Namun, jumlahnya terbatas dan hanya dibutuhkan di rumah sakit rujukan tipe A yang ada di kota-kota besar.

Secara terpisah, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Menaldi Rasmin mengatakan, pendidikan dokter spesialis dan subspesialis di negara-negara lain juga bersifat nonformal yang dikelola kolegium, bukan universitas.

Pendidikan yang formal hanya pendidikan dokter umum. Namun di Indonesia, pendidikan spesialis telanjur diformalkan seperti diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kurang merata

Menurut Menaldi, persoalan mendasar layanan kesehatan di Indonesia adalah kurang meratanya dokter yang bekerja pada layanan primer dan sekunder.

Dia menyatakan, jika pendidikan subspesialis diformalkan, dikhawatirkan makin banyak dokter spesialis menempuh jenjang subspesialis dan dokter umum menjadi dokter spesialis. Kondisi ini akan membuat rasio ideal dokter umum dan dokter spesialis makin sulit dipenuhi.

Formalisasi pendidikan subspesialis juga akan membuat biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat makin mahal.

”Jika rasio ideal dokter untuk layanan primer dan sekunder belum tercapai, dokter umum dan dokter spesialis dari negara ASEAN lain akan masuk ke Indonesia pada pasar bebas ASEAN 2015,” katanya. Kondisi ini justru lebih mengkhawatirkan karena dokter umum dan spesialis negara-negara ASEAN akan bebas berpraktik di seluruh Indonesia.

Dari 72 fakultas kedokteran saat ini, baru 51 fakultas yang menghasilkan lulusan. Dengan jumlah lulusan pendidikan dokter umum 8.500 orang per tahun, rasio ideal dokter umum diperkirakan tercapai pada 2014.

Sebagai perbandingan, Malaysia gencar menyekolahkan anak mudanya pada pendidikan dokter umum, bukan dokter spesialis. Tujuannya agar dokter asing tidak masuk negara itu pada layanan kesehatan dasar.

(MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com