Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuliah "Murah" dan "Fleksibel" di UT

Kompas.com - 17/02/2012, 03:59 WIB

Dulu, mungkin juga sampai saat ini, orang menilai Universitas Terbuka hanya diperuntukkan bagi orang-orang tua. Maksudnya orang-orang yang sudah bekerja dan tidak punya waktu untuk kuliah dengan sistem tatap muka karena kesibukan kerja mereka.

Betul MuDAers, citra Universitas Terbuka (UT) memang telanjur melekat sebagai kampus orang-orang tua. Enggak heran, orang-orang yang tercatat sebagai mahasiswa UT adalah para pekerja kantor, guru, dan profesional. Jarang yang berusia muda seperti kita-kita ini, MuDAers.

Tetapi itu dulu loh. Dua tahun terakhir, UT rupanya mulai dilirik orang muda. Maksudnya lulusan SMA sederajat seperti kita, MuDAers.

Tahu enggak ya MuDAers tentang hal ini?

Murah

Bimo adalah salah satu contohnya. Cowok lulusan sebuah SMAN di Kota Depok, Jawa Barat, ini sebenarnya sudah diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Namun, karena tak ingin mengikuti ospek di kampus itu yang dikenal sangat keras, Bimo memilih mengundurkan diri.

Beruntung orangtuanya tidak keberatan, malah mendukung Bimo kuliah di UT. Apalagi kalau bukan karena alasan biaya kuliah yang murah. Soalnya, biaya per sistem kredit semester (SKS) di UT ”hanya” Rp 20.000. Bandingkan dengan biaya per SKS di perguruan tinggi negeri (PTN) lainnya, apalagi di perguruan tinggi swasta (PTS) yang dijamin jauh lebih mahal.

”Lagi pula saya juga berharap diterima bekerja di sebuah kedai kopi idaman saya,” papar Bimo. Alasan lain yang dikemukakan Bimo adalah dia tak ingin mengikuti perkuliahan dengan jadwal padat. Dia ingin selain berkuliah juga bisa melakukan aktivitas lain. Salah satunya ya bekerja itu.

Kirana Dwi Astuti, lulusan sebuah sekolah menengah kejuruan perhotelan di Pemalang, Jawa Tengah, juga memutuskan kuliah di UT. Pertimbangannya, biaya yang murah.

Awalnya, dia hijrah dari Pemalang ke Jakarta karena ingin mencari pekerjaan sesuai latar belakang pendidikannya, yaitu di hotel berbintang di Jakarta. Setelah melamar ke berbagai tempat, dia diterima di sebuah klinik gigi. Pekerjaan itu dia anggap sebagai batu loncatan untuk mencari pengalaman. Eh, ternyata gajinya tidak cukup untuk menutupi biaya dan kebutuhan hidupnya di Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com