Gregorius Magnus Finesso
Setelah menyandarkan kruk di dinding rumahnya, Irma perlahan duduk selonjor dipapah Agus Priyanto, suaminya yang juga mengenakan kaki palsu. Ya, pasangan suami istri difabel itu menggelorakan semangat pantang menyerah bagi sesamanya dari Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
”Kami ingin menyingkirkan stigma bahwa penyandang cacat tidak dapat mandiri. Kami tidak ingin dikasihani. Kami hanya ingin mendapat kesempatan sama,” ujar pemilik Mutiara Handycraft itu.
Selepas lulus dari SMA, Irma tak melanjutkan kuliah. Ia menjalani terapi kaki akibat lumpuh layu sejak kecil di RS Ortopedi Solo. Di tempat itu, Irma jatuh hati dengan sesama pasien yang kini menjadi suaminya.
Selesai terapi, Irma kembali ke Semarang. Bersama Agus yang telah menjadi suaminya, mereka menggeluti usaha kerajinan pada 1999. Mereka mulai mengumpulkan para penyandang cacat yang kebetulan adalah kawan-kawan semasa mengikuti pendidikan keterampilan di rumah sakit. Usaha di ”Kota Lumpia” itu cukup berhasil dan mampu merekrut 50 penyandang cacat.
”Usaha saya sejak awal memang fokus membuat pelbagai alat rumah tangga dari kain perca,” tutur ibu lima anak itu.
Puncak kejayaan usaha Irma yakni pada 2002. Rumah dan mobil mereka miliki dengan omzet kerajinan mencapai miliaran rupiah per bulan. Rantai produksi dari manajemen hingga pemasaran tertata rapi.