Karena itu, kalangan ilmuwan dan aktivis lingkungan hidup di Kupang (Nusa Tenggara Timur), Kendari (Sulawesi Tenggara), Banyuwangi dan Surabaya (Jawa Timur), Jambi (Jambi), dan Pontianak (Kalimantan Barat) menuntut moratorium sejumlah usaha pertambangan karena cenderung memicu konflik sosial dan merugikan masyarakat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, Senin (20/2), telah meminta Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM lebih keras menindak perusahaan tambang yang tidak mengelola lingkungan dengan baik. ”Ini perlu waktu, perlu lebih tegas kita. Tegas itu artinya mengundang yang punya tambang untuk diajak bicara,” kata Jero Wacik di Jakarta.
Menurut Jero Wacik, menyangkut persoalan ekonomi, setiap kali menerima perusahaan tambang, pihaknya selalu menekankan kewajiban dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan.
Pemerintah akan selalu mengingatkan dan mengontrolnya. ”Dikasih oleh Tuhan suatu rezeki, semestinya rezeki itu untuk kesejahteraan kita. Tetapi sering, dikasih rezeki jadinya ribut,”
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur Herry Naif di Kupang, Senin, mengatakan, kebanyakan pemerintah tidak melihat akumulasi kerusakan lingkungan akibat tambang. Mereka hanya mementingkan diri dan membalas jasa pengusaha dengan mengeluarkan izin sepihak tanpa pengetahuan masyarakat bahkan DPRD setempat.
Siti Kotijah, pemerhati lingkungan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, menilai, wilayah Kaltim dalam ancaman besar bahaya lingkungan karena eksploitasi batubara semakin masif, ditandai proyek-proyek besar yang didukung dengan ”gembira” oleh pemerintah daerah. ”Yang bisa menghentikan laju eksploitasi batubara adalah komitmen pemerintah daerah dan ego sektoral di tingkat kementerian dihancurkan,” kata Siti Kotijah.
Pengamat ekonomi dan pembangunan Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Thomas Ola, mengingatkan, NTT terdiri dari pulau-pulau kecil dan sedang. Jika terjadi eksploitasi tambang besar-besaran, akan terjadi kerusakan lingkungan luar biasa.
Syahrir AB, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesian Mining Association (API-IMA), dalam pernyataannya kepada Kompas, menyatakan, masalah pertambangan yang menimbulkan kegentingan dipicu kegiatan tambang yang tak memberi kesejahteraan kepada masyarakat lingkar tambang.
”Berbagai konflik dan tindakan kriminal terkait kegiatan pertambangan disebabkan oleh berkembangnya paradigma baru di masyarakat bahwa tambang adalah milik daerah dan masyarakatnya, yang dengan mudah ditunggangi kepentingan: politik, ekonomi, pemekaran wilayah, pilkada, dan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang kemudian menjelma menjadi tuntutan anti-pertambangan,” katanya.
Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Hartono di Kendari mengatakan, kehadiran pertambangan di Sultra lebih banyak merugikan masyarakat ketimbang menguntungkan. Pemerintah diminta melakukan moratorium pertambangan. ”Banyak aktivitas pertambangan, menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik dengan masyarakat, serta menghilangkan mata pencaharian warga. Kasus terbaru adalah meluapnya dam pengendali air perusahaan tambang nikel di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, yang membanjiri tiga desa di Kabaena, 15 Februari 2012.”
Akbar Dimba dari Aliansi Masyarakat Wawonii Peduli Lingkungan (AMWPL) juga mendesak pemerintah daerah mencabut izin usaha pertambangan nikel dan emas di Kecamatan Wawonii Tengah, dan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe, Sultra, sebab kawasan tambang tersebut merupakan kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan di wilayah itu.
Potensi konflik usaha pertambangan di Jawa Timur merata. Direktur Eksekutif Walhi Jatim Bambang Catur Nusantara melihat potensi konflik itu merata di daerah yang kaya sumber daya alam, mulai gas, minyak bumi, emas, air, hingga pasir. Di kawasan selatan potensi konflik dari Kabupaten Pacitan-Banyuwangi.
Eksplorasi dan penambangan emas di kawasan Tumpangpitu, Kabupaten Banyuwangi telah berakibat hancurnya semangat gotong-royong, berubahnya cara hidup agraris ke penggali tambang, sebagaimana dikatakan
Deni (68), sesepuh warga Tumpangpitu. Aktivitas tambang emas telah memicu keretakan sosial warga.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas bahkan sejak September 2011 menyatakan belum akan menerbitkan surat izin lanjutan untuk eksplorasi tambang bagi PT Indo Multi Niaga jika tidak ada keuntungan yang diperoleh warga Banyuwangi. (KOR/ENG/AHA/JAN/ARA/NIT/ITA/PRA/LAS)