Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bara yang Tak Kunjung Padam di Pelauw

Kompas.com - 22/02/2012, 03:49 WIB

A Ponco Anggoro

Bara permusuhan seakan sulit hilang dari bumi Pelauw di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Perbedaan yang ada selalu dilihat sebagai penghalang untuk hidup bersama. Ironisnya, sejatinya mereka semua masih bersaudara.

Wahab Angkotasan (40), salah satu warga Pelauw, tidak pernah membayangkan rumah tempat tinggal bersama istri dan anak-anaknya, beserta seluruh harta benda di dalamnya, bakal menjadi sasaran kemarahan warga Pelauw lainnya. Padahal rumah yang baru saja tuntas dibangunnya itu, hasil kerja kerasnya sebagai buruh di pelabuhan di Ambon selama puluhan tahun.

Rumah Wahab menjadi satu dari sekitar 400 rumah yang ludes terbakar saat bentrokan antarwarga Pelauw, yang terjadi sejak Jumat (10/2) malam hingga Sabtu (11/2) pagi. Selain itu, enam warga Pelauw tewas akibat bentrokan tersebut.

Kondisi serupa dialami Atiah Latupono (30), warga Pelauw lainnya. Setelah rumahnya ludes terbakar, dia bersama anaknya yang masih kecil harus mengungsi di salah satu rumah warga di Kailolo, desa yang berdekatan dengan Pelauw. Pakaian di badan jadi harta yang tersisa.

”Semua sudah musnah. Tidak pernah terbayangkan, bentrokan begitu besar bakal terjadi. Kami semua yang sebetulnya masih saudara,” tutur Atiah.

Wahab dan Atiah berasal dari dua kelompok berbeda di Pelauw, yang disebut sebagai kelompok muka (dalam bahasa Indonesia berarti depan) dan belakang. Perbedaan ini muncul atas cara pandang setiap kelompok terhadap agama yang sama yang dianut. Penentuan hari-hari besar keagamaan menjadi salah satu yang paling mengemuka dalam perbedaan itu.

Sekretaris Desa Pelauw Ali Latuconsina menyebutkan, kelompok muka selalu menetapkan hari-hari besar keagamaan mengacu perhitungan pada umumnya atau sama dengan yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya, kelompok belakang menetapkannya berdasarkan tradisi leluhur mereka, biasanya berselang tiga hari setelah kelompok muka merayakan.

Dari generasi ke generasi, perbedaan itu mewarnai kehidupan warga Pelauw, dan selama itu pula permusuhan akibat perbedaan yang ada, hidup di antara kedua kelompok.

Catatan buruk akan pertikaian keduanya tidak lagi terhitung. Namun, bentrokan yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian materiil, seperti terjadi pada dua pekan lalu, terjadi pula sekitar tahun 1980 dan pertengahan 2011.

Kondisi ini berlangsung meski warga dari kedua kelompok hidup bertetangga di Pelauw tanpa ada sekat, juga terikat oleh tali persaudaraan. ”Seluruh orang Pelauw itu berasal dari satu rahim yang sama atau saling bersaudara yang dalam bahasa setempat disebut maningkamu,” kata Tokoh Pemuda Masyarakat Adat Negeri Pelauw, Bisri As Shiddiq Latuconsina.

Pelauw yang berpenduduk sekitar 7.900 orang, terdiri dari tiga belas soa (marga). Dalam satu soa, ada yang jadi bagian dari kelompok muka, ada pula yang menjadi bagian dari kelompok belakang. Bahkan dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu keluarga, kondisi itu pun terjadi.

Ironisnya lagi, semua itu terjadi di desa yang banyak melahirkan tokoh-tokoh politik di Maluku. Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal dan Wakil Wali Kota Ambon Sam Latuconsina adalah satu di antaranya. Ikatan kekerabatan yang erat juga membuat orang-orang yang sudah berhasil sering membantu keluarga lainnya yang belum berhasil di Pelauw, baik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun membiayai sekolah.

Adanya sokongan inilah yang membuat anak-anak Pelauw bisa sekolah tinggi, minimal sekolah menengah atas. Itu tentunya ditopang pula oleh hasil bertani dan mencari ikan yang menjadi tumpuan masyarakat Pelauw. Posisi Pelauw yang berada di pesisir pantai memungkinkan dua profesi itu dijalani.

Menurut Ali, permusuhan yang sekian lama terjadi, di mana beberapa kali diwarnai bentrokan, telah menimbulkan dendam. Inilah yang membuat perdamaian sangat sulit dicapai meski dialog dan perdamaian telah berulang kali dilakukan.

Faktor dendam dan riwayat permusuhan yang sudah turun-temurun ini pula yang membuat Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal tidak memaksakan untuk mempertemukan kedua kelompok pasca-bentrokan. ”Tunggu kondisi masyarakat tenang dulu baru akan kami upayakan pertemuan kedua kelompok,” tambahnya.

Ketua Lembaga Antar Iman di Maluku, Abidin Wakano, menambahkan, bentrokan di Pelauw, dan juga di beberapa daerah lainnya di Maluku, selama setahun terakhir menunjukkan tidak adanya manajemen konflik yang baik. Padahal konflik sosial seharusnya bisa jadi pelajaran untuk mencegah bentrokan lain terulang lagi di Maluku. Apalagi pascakonflik, karakter masyarakat Maluku telah berubah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com